Oleh : Sahara
(Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial)
Sebagai seorang yang terpandang dan memiliki peran yang sangat penting untuk mengembalikan serta memajukan masa depan bangsa. Tentu haruslah memiliki sikap yang baik,kualitas yang mumpuni dan juga memiliki integritas yang tinggi.
Sebab dari pola pikir dan sikapnya,akan mempengaruhi pola pikir dan sikap perilaku generasi yang ingin dibangun. Dia akan menjadi contoh dan panutan bagi para generasi penerus bangsa. Jangan sampai lalai dari tugas yang diamanahkan padanya, apalagi sampai keliru dalam menjalankan tugas penting nya.
Namun sangat disayangkan, di Tahun ajaran baru ini, seorang Menristekdikti membuat kebijakan yang sangat diskriminatif. Sebab ia dengan keras melarang adanya gerakan radikalisme dan intoleran tapi mempersilahkan mahasiswa untuk mengkaji aliran Marxisme dan penyimpangan sosial seperti LGBT,dan sebagainya. Seperti yang dilansir dari laman situs (Republika.co.id ) yang menyajikan berita bahwa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi.
Nasir menegaskan, hal yang diawasi oleh Kemenristekdikti hanyalah terkait radikalisme dan intoleransi. Terkait aktivitas mahasiswa dalam mengekespresikan diri di media sosial, tidak akan diatur lebih jauh oleh pihaknya.
"Yang kami atur adalah jangan sampai dia menyebarkan radikalisme dalam kampus, intoleransi yang dikembangkan itu enggak boleh. Kalau terjadi hate speech begitu, itu bukan urusan saya," kata dia.
Seperti yang kita pahami bahwasanya selama ini rezim pemerintahan sangat anti dengan kajian Islam yang menggaungkan penerapan syariah secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Mereka menganggap ini ada gerakan yang radikal dan intoleran, dan menganggap bahwa ide Khilafah ini akan menghantam NKRI padahal jika ditelusuri lebih jauh bahwa Khilafah bukan membangun Negara di atas negara. Tapi mempersatukan seluruh negara dalam hukum dan aturan yang sama. Dan tentu aturan ini bukan berasal dari pola pikir manusia yang serba kurang dan terbatas, dan bukan pula dari arogansi hawa nafsu manusia. Melainkan dari Sang maha pencipta yang maha tahu segalanya. Kedaulatan yang selama ini berada di tangan rakyat, tentu mutlak menjadi milik syara'. Lebih jelas mana hitam dan putih. Mana yang Haq dan yang Bathil. Tidak seperti semboyan demokrasi yang selama ini kita dengar, bahwa semuanya dari ,oleh,dan untuk rakyat. Namun sering kali kebijakan yang ada malah timpang tindih dan menimbulkan percekcokan. Seharusnya kita sadar dan memahami bahwasanya rakyat yang di angkat dan di pentingkan adalah kaum kapitalis yaitu sang pemilik modal. Terbukti jalan nya Pemilu Presiden tahun ini menimbulkan banyak pertentangan bahkan tak sedikit yang menjadi korban. Ini adalah salah satu dari sekian banyak bukti dari kebobrokan sistem Demokrasi liberalisasi kapitalisme Neolib. Mirisnya mereka yang dengan lantang nya mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai NKRI, mereka jugalah penghianatnya. Praktek korupsi merajalela, kolusi dan Nepotisme apa lagi, tentu berita seperti ini tidak akan ada habisnya.
Mereka yang berjuang mencerdaskan umat dan berusaha membangkitkan pola pikir umat, tentu di labeli Radikal dan intoleran. Jelas sekali bahwa rezim sedang ketar ketir dan merasa awas dengan kebangkitan umat. Tentu saja untuk menghadapi hal ini mereka membuat berbagai macam cara untuk menghentikan kebangkitan umat. Membuat manipulasi dan ilusi kebijakan yang sebenarnya tidak pernah menghasilkan solusi yang haqiqi.
Terbukti dengan kebijakan yang juga dikeluarkan oleh Menristekdikti yang mempersilahkan para mahasiswa maupun dosen untuk mengkaji aliran yang sebenarnya tidak sesuai dengan Pancasila.
(TribunNews.com) Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mempersilakan para mahasiswa dan civitas akademika yang ingin melakukan kajian mengenai paham Marxisme di lingkungan kampus. "Kalau itu di dalam ranah akademik, di kelas dilakukan secara terbuka, ini [kajian Marxisme] silakan. Umpamanya mengkaji tentang aliran Marxisme itu silakan. Tapi jangan sampai tidak terbuka. Dosen, pembina mahasiswa harus ada di dalamnya, jangan melakukan gerakan sendiri tanpa ada pendampingan. Ini yang penting," ujar Nasir saat di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta Selatan, Jumat (26/7/2019). Selain paham Marxisme, dirinya pun mempersilakan apabila mahasiswa ingin melakukan kajian terkait Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT). Akan tetapi, kata dia, mengkajinya dari segi positif, seperti mengenai dampak kesehatan yang diterima ketika seseorang melakukan hubungan sesama jenis. "Kalau kegiatan mereka [mahasiswa] untuk kajian akademis, silakan. Yang tidak boleh itu LGBT making love di dalam kampus. Jadi aktivitas LGBT yang terkait pada kegiatan LGBT itu tidak boleh," tuturnya. Kemudian, Nasir juga tidak memperbolehkan untuk menyebarkan pengaruh LGBT di tingkat Perguruan Tinggi. Bahkan, ia juga tak masalah jika mahasiswa dan civitas melakukan kajian terkait paham radikalisme dan intoleransi. Namun yang tidak boleh, kata dia, menyebarkan paham tersebut di dalam kampus. "Artinya kampus kadang-kadang takut. [Kajian] itu tidak ada masalah bagi saya, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan," pungkasnya. Lebih lanjut, dirinya pun mempersilakan kepada civitas akademika untuk menyalurkan ekspresinya di kampus. Tetapi kata dia, meskipun diberikan kebebasan, namun harus ada batasannya. "Kajian ilmiah katakan bicara tentang Pancasila, tentang Undang-undang, silahkan ini. Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan pendidikan, dalam hal ini yaitu Pancasila UU 1945," terangnya.
Marxisme adalah ajaran dari sosialis komunisme, Yang sama - sama kita pahami betul bahwa rakyat Indonesia pernah diperlakukan secara keji seperti binatang oleh PKI. Dan LGBT merupakan penyimpangan sosial yang sangat merusak generasi penerus bangsa. Melihat dari segi positif dan negatifnya, tentu ketika pembahasan ini dikaji lebih dalam, bukan tidak mungkin memberikan pengaruh buruk pada pola pikir mahasiswa.karena dengan adanya kebijakan seperti ini akan menjadi angin segar bagi para aktivis LGBT dan Feminisme, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja, bukan?
Dan jika memang diberikan akses untuk Bertabbayun alias mengenali dan mengkaji. Mengapa ketika dibahas tentang Islam yang Kaffah. Seperti tidak diberikan ruang, dan setelah melalui pergolakan, barulah beliau mengizinkan dan memberikan akses untuk mempelajari paham Khilafah. Sungguh tampak jelas bahwa ini adalah kebijakan yang labil dari seorang Menristekdikti. Namun meskipun demikian, ini merupakan peluang yang bagus dan kesempatan emas untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Mengingat menjalankan Islam secara total (Kaffah )bagi seluruh muslim adalah wajib. Dan Indonesia sendiri mayoritas penduduk nya adalah muslim. Maka umat tidak boleh lagi anti dengan ajaran Islam atau bahkan sampai menjadi Islamophobia. Dan oleh karenanya,ini adalah kesempatan emas. Maka dari itu, bersegeralah singsingkan lengan, mengencangkan tali pinggang, bergerak bersama berjuang sepenuhnya untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Jangan lagi terlena dengan kebudayaan hedonis dan liberal yang selama ini meninabobokan umat, semua ini kita lakukan demi sebuah institusi yang memiliki kualitas dan kredibilitas kehidupan umat yang sempurna dan Paripurna, yang telah terbukti kegemilangan nya dalam memimpin 2/3 dunia di masa silam. Wallahu 'alam bisshawwab.