Menggagas Kampus Ramah Perempuan, Perlukah?



Oleh: Selviana Aidani 

(Aktivis Dakwah Kampus, Member Akademi Menulis Kreatif)


GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Kota Banjarmasin mengadakan dialog publik bertempat di Mongopi Jalan Pulau Laut Banjarmasin Tengah (12/7/2019). Bertema "Kekerasan Seksual di Ranah Perguruan Tinggi" dialog ini dinarasumberi oleh PMII, IMM, KAMMI dan GMNI. Adapun yang dihasilkan dalam dialog ini adalah gerakan yang merupakan sebuah aksi. Dimana mereka bertujuan untuk melaunching sebuah gagasan dan gerakan, yakni "Kampus  Ramah Perempuan", perihal ini disampaikan oleh Ridha selaku ketua pelaksana kegiatan. (www.beritabanjarmasin.com, 13/7/19)


Wacana ini bukanlah hal baru, dilansir dari nasional.sindonews.com (8/3/2018) pada satu tahun lebih yang lalu dalam rangka menyambut Internasional Women’s Day, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mendukung Kebijakan Three Ends yang digagas oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kebijakan Three Ends sendiri memfokuskan pada tiga hal yakni mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, mengakhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan. 


Selanjutnya, Menurut ketua bidang pergerakan sarinah dan perlindungan anak DPP GMNI, Dia Puspitasari, akan merencanakan program berkelanjutan untuk membantu dalam permasalahan perempuan di lembaga pendidikan khususnya di kampus. Hal tersebut dinamai dengan Program "Kampus Ramah Perempuan" (KRP) untuk membantu KPPA dalam menyelesaikan permasalahan perempuan khususnya di tataran kampus.


Yang mana mereka selama ini merasa kondisi kampus yang belum berpihak pada kebutuhan dan kepentingan perempuan. Contohnya, mereka mempermasalahkan fenomena marginalisasi dan diskriminasi serta pemiskinan perempuan. 


Dia Puspitasari menjelaskan, bahwa fenomena marginalisasi dan diskriminasi serta pemiskinan perempuan ini tentu tidak sesuai dengan Tri Dharma PT. Oleh sebab itu, Program KRP harus dihadirkan dengan mengintegrasikan perspektif pro gender equality dalam management kampus. Dimulai dari pembenahan kurikulum (content), struktur (organisasi) hingga budaya yang ramah perempuan. Hadirnya KRP diharapkan oleh mereka mampu untuk memberantas sistem patriarkhi.

 

Dari sini dapat terlihat bawa gagasan KRP ini sangat kental dengan ide-ide feminisme. Kaum feminis mencoba untuk merong-rong pengarusutamaan opini gender di berbagai lini. Termasuk kampus, juga menjadi sasarannya. Mirisnya, ide ini coma dimuluskan dengan perantaraan organisasi keislaman yang ada. 


Targetnya ialah seluruh pengaturan kampus berbasis gender. Dengannya mereka tanpa lelah memasukkan idenya dan terus mengupayakan ide kesetaraan gender ini masuk kampus. Tentu ini sangat berbahaya.


Gerakan feminisme ini sendiri muncul akibat adanya ketidakadilan terhadap perempuan di Barat. Yang mana ide ini menuntut kesetaraan gender terhadap perempuan secara menyeluruh, namun berujung petaka, yaitu rusaknya peran perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt dan ummu ayjal (ibu generasi).


Feminisme telah mengantarkan wanita jauh dari kesuksesan hakiki. Terlihat dari maraknya kriminalitas yang menimpa perempuan, di luar bahkan di dalam rumah. Di satu sisi, dengan kesetaraan gender yang digaungkan dalam alam kapitalisme, menjadikan wanita hanyalah sebagai aspek materi yang bisa menjadi faktor produksi murah sekaligus menjadi pangsa pasar.


Wanita gila-gilaan dalam karier adalah salah satu akibat dari pemikiran ini. Wanita dibuat sukarela menjalankan dua tugas sekaligus, bekerja dan mengurus keluarga. Perempuan yang lebih banyak di luar rumah untuk bekerja, menyebabkan keluarga dan urusan rumah tangga terbengkalai, hanya demi mencari materi. Lalulah menyebabkan perceraian dan berimbas kepada anak.


Ide inilah yang mencoba ditanamkan oleh Barat ke negeri-negeri kaum muslim. Ide yang dipoles bagai keadilan hakiki, nyatanya ilusi bagi perempuan. Bukannya mulia perempuan karenanya, justru nyungsep senyungsep-nyungsepnya.


Untuk itu, patut dipahami bersama fungsi dan peran perempuan dalam Islam yang sebenarnya. Ummu wa rabbatul bayt dan ummu ayjal adalah peran penting perempuan dalam Islam, mereka mengemban tugas mulia sebagai pendidik anak-anak untuk menjadikan generasi emas pengokoh peradaban Islam selanjutnya.

 

Semua sudah diatur tugas dan perannya (wanita dan pria) masing-masing oleh syara, maka kaum perempuan tidak perlu iri kepada laki-laki, begitupun sebaliknya. Karena kesejajaran sudah jadi ketetapan dalam Islam antara pria dan wanita, yakni sama-sama menjadi Hamba Allah yang harus taat atas segala peraturannya, bukan dilihat dari fungsi dan perannya. Maka yakinlah, Allah telah mengatur dengan sempurna, kita cukup menjalankan sesuai dengan apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya.  


“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al-Maidah: 50)


Adil tak mesti sama. Laki-lakinya diwajibkan mencari nafkah serta pemimpin keluarga, sementara perempuan wajib mengurus keluarga dan menjadi ibu rumah tangga. Inilah keadilan dan fitrah dalam Islam. Pembedanya hanya ketakwaan.


“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka, (laki-laki) di atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (TQS An-Nisa’: 34)


Selain itu perlu adanya pemahaman keluarga dalam pandangan Islam. Mengingat feminisme tidak hanya masuk di lini kampus namun juga mencoba memasuki pertahanan paling sentral, yakni lini keluarga.


Dalam Islam, tidah hanya berfungsi sebagai sosial, namun juga keluarga berfungsi sebagai politis dan strategis. Yang dimaksud berfungsi secara politis dan strategis adalah untuk menyiapkan generasi emas. Generasi yang bertaqwa, cerdas, tangguh, dan sebagai pemimpin peradaban. Yang dapat membawa Islam mendapat predikat umat terbaik.


Ini hanya dapat terwujud, jika dan hanya jika Islam diambil secara kaffah (menyeluruh). Maka dari sini kita perlu adanya institusi negara, yang mana akan menerapkan Islam dalam segala segi kehidupan. Sebab hanya dalam rengkuhan Islam pembagian peran dan fungsi dalam keluarga dapat berjalan secara proporsional.  Tujuannya adalah hanya untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Selain itu, penerapan Islam secara menyeluruh ini juga untuk melindungi unit keluarga dari berbagai ide-ide merusak. 


Sudah sangat jelas sekarang. Mari tolak feminisme dan ide gender! Sebarkan Islam seluas-luasnya sebaga solusi segala permasalahan, terkhusus untuk wanita. Hanya di bawah naungan Islamlah wanita mulia dalam jalur yang memang seharusnya, jalur yang diridhai Allah Swt. Dalam instisusi Khilafah, negara Islam yang akan menjalankan Islam secara kaffah.


“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kkepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnnya akann Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang labih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( TQS An-Nahl: 97)


“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu (kepada Allah).” (TQS Al-Hujurat: 13)


Wallahu ‘alam biashshawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak