Jakarta CNN Indonesia-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta PLN memberikan kompensasi kepada konsumen akibat padamnya listrik di sejumlah wilayah Jakarta-jabodetabek,sebagian jawa barat dan jawa tengah. Ketua pengurus harian YLKI, Tulus Abadi mengungkap banyak masyarakat yang merugi akibat pemadaman massal ini.
Pemadaman yang mengganggu para pelaku usaha, bisa jadi, kata Tulus, berdampak pada investasi Jakarta. Tulus menengarai padamnya listrik lantaran belum siapnya infrastruktur yang dimiliki Indonesia. Tulus menilai PLN mestinya tidak hanya berfokus pada kuantitas daya listrik, melainkan pula fokus kepada kualitas daya.
Negara Lalai Memenuhi Hajat Publik
Selama sepekan terakhir peristiwa Ahad – malam senin tanpa listrik telah menjadi topik di berbagai media massa sejumlah ahli dan pengamat kebijakan pun angkat bicara. Namun bila dicermati secara seksama kejadian pemadaman massal listrik tersebut menegaskan setidaknya dua hal
1. Listrik lebih dari sekedar penerang.
Cukup mudah diindra bahwa hampir semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada listrik. Di rumah misalnya dari memasak nasi (rice cooker) hingga akses air bersih (pompa air dan sumur bor) semua butuh listrik
2. Pemadaman massal ini dapat dikatakan puncak keburukan dan kelalaian negara dalam pengurusan hajat publik, khususnya listrik, Pasalnya, selama ini keburukan dan kelalaian pemerintah sudah dirasakan masyarakat secara luas. Yakni berupa mahalnya harga listrik. Keluhan besarnya biaya tagihan listrik sudah jamak didengar tidak saja dari para ibu kelas sosial menengah kebawah namun juga menengah ke atas. Di samping itu masih ada setengah juta rumah tangga yang belum teraliri listrik. Tragisnya, semua ini terjadi ditengah berlimpahnya sumberdaya energy pembangkit tenaga listrik (Batu bara,migas)
Buah Pahit Penerapan Neoliberalisme
Tidak sekedar aspek teknis seperti buruknya pemeliharaan dan modernisasi sistem transmisi listrik, kelalaian negara dan berbagai persoalan kelistrikan di negeri ini adalah buah pahit penerapan konsep dan paradigma sekuler neoliberalisme sektor kelistrikan yang didukung penuh keberadaannya oleh sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Khususnya sistem politik demokrasi dan system ekonomi kapitalis. Listrik dipandang tak lebih dari komoditas yang harus dikomersilkan. Fungsi negara dimandulkan dan tidak lebih dari regulator (pembuat aturan main) yang menguntungkan operator para pebisnis sektor kelistrikan. Baik di sektor pembangkit, transmisi maupun distribusi. Sementara pengelolaan kelistrikan sendiri diserahkan pada para korporasi operator kelistrikan tersebut. Seperti korporasi pemilik pembangkit listrik (Independent power producer/IPP), maupun PLN sendiri yang kosong dari fungsi pelayanan dan harus bertarung menghadapi sektor swasta, sebagaimana yang terlihat pada fungsi Bulog (Rini syafri – Muslimah News ID).
Islam satu-satunya solusi
Islam adalah diinul haq, yang hadir sebagai solusi bagi semua persoalan kehidupan manusia, tidak terkecuali pada persoalan kelistrikan, sehingga setiap individu publik terpenuhi kebutuhannya terhadap listrik secara memadai dengan harga murah bahkan gratis.
Islam mewajibkan kehadiran pemerintah (khalifah) sebagai pelaksana syariah Allah SWT secara kaffah. Karenanya, karakter sebagai raa’in (pelayan pemenuhan berbagai hajat hidup publik) dan junnah (pelindung) begitu menonjol.
Prinsip yang dikedepankan untuk memenuhi berbagai hajat hidup publik termasuk listrik yaitu :
1. Listrik adalah harta milik umum, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW yang artinya “kaum muslimin berserikat dalam tiga hal,padang rumput, air, api (energi)” (HR Abu Dawud). Prinsip ini diperkuat oleh keberadaan sumber energi pembangkit listrik berupa batubara dan migas yang potensinya berlimpah di bumi Indonesia ini adalah harta milik umum . Tentang status industri energi listrik sebagai harta milik umum didasarkan pada kaedah ushul, bahwa “Status hukum industri mengikuti apa yang di produksinya.”
2. Negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan listrik sehingga terjamin pemenuhan kebutuhan listrik individu publik yang murah bahkan gratis secara memadai dimanapun dan kapanpun dibutuhkan. Apapun alasannya terlarang negara berfungsi sebagai regulator dan terlarang pula pengelolaanya diserahkan pada korporasi ataupun semi korporasi. Baik pada aspek pembangkit, transmisi maupun distribusi. Ditegaskan Rasul SAW. Yang artinya “ Imam atau khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya“ (HR.Ahmad dan Bukhari).
Negara berkewajiban mendirikan industri-industri yang penting bagi terwujudnya kemaslahatan publik, khususnya dalam pemenuhan hajat hidup termasuk industri kelistrikan. Sehingga tersedia secara memadai baik dari sisi kualitas maupun dari sisi kuantitas.
Pada tataran ini, dapat dipahami betapa pentingnya kehidupan yang diatur dengan seitem Islam (Khilafah), lebih dari itu khilafah adalah ajaran Islam yang diwajibkan Allah SWT. Kepada kita semua. Allahu a’lam bishowab.
Yusra Ummu Izzah, pendidik generasi)