Oleh : Miya Ummu Akmal
(pendidik dan pemerhati kebijakan public)
Agustus identik dengan bulan kemerdekaan. Kemeriahan dan suka cita senantiasa menghiasi bulan ini dengan lomba-lomba, karnaval, gerak jalan dan lainnya. Tak terasa sudah 74 tahun bangsa Indonesia bebas dari penjajahan Belanda, katanya. Oleh karenanya rakyat indonesia merasa bersyukur sekali dengan memperingatinya setiap tanggal 17 Agustus di tiap tahunnya.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah Indonesia telah merdeka? Untuk menilainya kita bisa melihat apakah kebijakan dan perundang-undangan kita benar-benar telah berdiri sendiri tidak terikat dan bergantung pada pihak lain. Karena menurut KBBI (Kamus besar bahasa Indonesia), merdeka diartikan sebagai bebas dari penghambaan atau penjajahan, berdiri sendiri dan tidak terikat atau tidak bergantung kepada pihak tertentu.
Secara de jure Indonesia telah merdeka. Tidak ada negara yang berani menjajah negri tercinta ini secara fisik. Tapi bagaimana jika penjajahan itu dilakukan melalui cara-cara non fisik? Misal dengan melalui serangan budaya, pemikiran dan lainnya.
Bagaimana jika penjajahan itu melalui bantuan pinjaman luar negeri?No fre lunch. Tidak ada makan siang gratis. Fakta membuktikan, setiap ada bantuan berupa pinjaman hutang dari luar negeri pastilah disitu ada MOU atau kesepakatan-kesepakatan. Dari kesepakatan itulah negara asing bisa menyetir kebijakan-kebijakan pemerintah.
Menurut Eva Kusuma Sundariyanti, politisi PDIP, berdasar informasi dari Badan Intelijen Negara(BIN), selama 12 tahun reformasi ada 76 produk undang-undang di sektor strategis seperti pendidikan, perbankan, energi, kesehatan dan politik seperti UU Sumber daya air no.7 tahun 2004, UU Kelistrikan no.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003, UU Migas no.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman modal no.25 tahun 2007 serta UU Pemilu no.10 tahun 2008. Semua UU tersebut draftnya disusun oleh pihak asing yaitu Bank Dunia, IMF dan USAID.(Al waie No 20 Tahun XV)
Kita patut bertanya, mengapa Bank Dunia, IMF dan USAID ikut campur dalam pembentukan Undang-undang di Indonesia? tidak kah semua itu sarat dengan kepentingan?
Intervensi asing dalam penyusunan undang-undang merupakan modus penjajahan baru(neoimperialisme). Jika imperialisme lama menggunakan agresi dan invasi militer maka imperialisme modern menggunakan strategi mengintervensi kebijakan negara yang ingin dikuasai. Negara lain tahu bahwasanya tidak bisa indonesia dikalahkan dengan serangan militer, karena sejarah sudah membuktikan nya. Mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, sehingga memiliki semangat jihad yang tinggi dan berani mati. Maka akhirnya penjajahan itu menggunakan strategi lain secara non fisik.
Investasi kini telah tumbuh subur di negeri kita. Karena pemerintah mendorong daerah-daerah agar mencari banyak investor dari luar. Semakin banyak investor dari luar, maka itu menjadi kebanggaan daerah tersebut. Banyaknya investasi di suatu daerah tertentu menandakan banyaknya potensi kekayaan alam di daerah tersebut atau keindahan alamnya yang luar biasa bagusnya.sehingga bisa didirikan lah tempat-tempat wisata di daerah tersebut. Sadarkah kita, melalui jalan inilah penjajahan juga bisa masuk.
Sejak ada UU Penanaman modal no.25 tahun 2007 negara lain bebas menanamkan modalnya di indonesia, sehingga ada privatisasi/swastanisasi kekayaan alam kita. Alhasil sumber daya alam kita banyak dikeruk oleh para pemodal(kapital) dari negara lain dengan mengatasnamakan investasi. Seperti gunung emas di papua kini tak lagi menjulang tinggi seperti gunung, tapi seperti lembah karena telah dikeruk oleh asing. Hasilnya banyak yang dinikmati asing. Begitu juga dengan kekayaan alam lainnya yang ada di kalimantan, Aceh dan lainnya. Lantas, apakah ini yang kita namakan merdeka?
Kita hanya akan merdeka jika kita menerapkan aturan sang pencipta(Allah). Karena sistem yang diterapkan di negeri kita saat ini adalah sistem kapitalis sekularisme. Yang berkuasa adalah para pemilik modal (para kapital). Tolak ukur dalam membuat kebijakan adalah kemanfaatan bagi pembuat kebijakan dan para kapital. Dampaknya bisa kita liihat, kebijakan yang ada tidak pro rakyat. Rakyat tidak merasakan kesejahteraan. Yang sejahtera hanya segelintir orang yakni para pemodal. Jika begitu, masihkah kita berharap pada sistem yang ada saat ini?
Wallaahu a'lam bis Asshowaab.