Oleh : Netty Susilowati, SPd
Membangun sebuah keluarga bukanlah sesuatu yang mudah. Juga bukan sesuatu yang harus ditakuti. Jika sebuah pernikahan memiliki tujuan yang jelas, memahami hakekat penciptaan Allah ada laki-laki dan perempuan, menyadari setiap hak dan kewajiaban masing-masing pasangan, niscaya sebuah keluarga yang sakinah mawadah warahmah bisa terwujud.
Kebahagiaan keluarga tidak dilihat dari banyaknya harta. Banyaknya anak. Atau kemesraan yang ditunjukkan dalam foto atau media social. Kebahagiaan keluarga yang hakiki akan terlihat dari dalam kehidupan sehari-hari. Tuma’ninahnya setiap pasangan mengarungi kehidupan rumah tangga. Bukan tanpa riak, tetapi selalu bisa menjadikan riak dalam rumah tangga sebagai hikmah dan pelajaran.
Kunci kebahagiaan keluarga setidaknya ada dua : komunikasi dan saling percaya. Komunikasi sehat antara pasangan suami isteri dalam berumah tangga menghilangkan prasangka diantara mereka berdua. Hal ini meminimalkan konflik yang akan terjadi. Begitu juga dengan saling percaya. Apapun berita yang beredar di luar, jika ada komunikasi intens dan sikap saling percaya, bisa menepis prasangka negative kepada pasangan.
Keluarga Rasulullah SAW tak lepas dari masalah. Konflik rumah tangga, isu negatif juga pernah beliau alami. Tetapi lihatlah bagaimana manusia mulia ini mampu mengatasi persoalan rumah tangganya dengan baik. Sehingga pertengkaran dan perceraian tak akan terjadi.
Dalam sebuah perjalanan yang dilakukan Rasulullah, beliau selalu ditemani salah seorang isterinya. Pada suatu kesempatan peperangan, Aisyah ra yang menemani beliau. Pada saat hendak kembali ke Madinah, Rasulullah memberi aba-aba untuk berangkat. Sementara Aisyah baru selesai dari keperluannya dan beliau kembali lagi ke tempatnya. Sesampai di tengah rombongan Aisyah menyadari kalungnya telah terjatuh. Maka beliau kembali ke tempat semula untuk mencari kalungnya. Setelah menemukan kembali kalungnya, beliau kembali ke tempat rombongan beristirahat.
Namun sayang, Aisyah tak menemukan siapapun di sana. Rombongan Rasulullah telah berangkat dan meninggalkannya tanpa sengaja. Karena lelah, tertidurlah Aisyah di atas sebuah batu. Beliau terbangun dikagetkan dengan bacaan istirja’ (Innalillahi wa inna ilaihi rojiun) dari Shafwan bin Al Mu’aththal As Sullami Adz Dzakwani. Menyadari Aisyah tertinggal dari rombongan, Shafwan mempersilakan Aisyah untuk menaiki untanya tanpa mengajaknya berbicara. Tidak ada yang kelaur dari mulut Shafwan kecuali kalimat istirja’ berkali-kali.
Hanya saja orang-orang yang dengki, suka menghasut mengambil kesempatan untuk menyebarkan berita buruk yang penuh prasangka. Mereka menuduh Aisyah ummul mukminin berselingkuh dengan Shafwan. Rasulullah pun yang mendengar desas desus ini hanya diam. Beliau tidak banyak bereaksi. Bahkan beliau masih menjenguk Aisyah yang sakit saat kembali dari perjalanan tersebut. Beliau yakin Aisyah tidak akan melakukannya. Tetapi beliau juga tidak kuasa menjawab tuduhan orang-orang munafik tersebut.
Rasulullah dan Aisyah menyelesaikan persoalan mereka dengan berdialog. Di hadapan mertua sekaligus sahabat beliau Abu bakar Ash Shidiq, Rasulullah mengabarkan kepada Aisyah desas desus yang ada di luar rumah. Aisyah tak kuasa mendengarnya. Beliau hanya menangis dan memohon pembelaan dari RabbNya. Dan sungguh Allah menjawab kepasrahan dan keimanan Aisyah. Maka turunlah surat an Nuur 55 yang membersihkan nama Aisyah ra.
Lihatlah, betapa Rasulullah mampu menjaga emosinya. Tetap mempertahankan kepercayaan kepada isterinya meski kabar buruk beredar di sana. Dan lihatlah betapa teguh Aisyah menjaga kehormatannya. Keimanannya yang kokoh menjadikan Allahlah yang membelanya.
Semoga mampu menjadi teladan bagi kita semua dalam mengarungi rumah tangga. Percaya dan berkomunikasilah dengan pasangan anda.