Oleh : Sunti
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan Kemenristekdikti tidak akan memantau media sosial satu per satu setiap hari. Namun, ia ingin melakukan pendataan sehingga apabila nantinya terjadi masalah bisa dilacak melalui media sosial atau nomor teleponnya. Ia menjelaskan, apabila di kampus tidak terjadi masalah apapun terkait radikalisme atau intoleransi maka tidak akan dilakukan pelacakan. Sebaliknya, apabila terjadi masalah terkait radikalisme atau intoleransi di kampus maka data medsos dan nomor telepon tadi akan dilakukan pelacakan.
Belakangan perang melawan ‘radikalisme’ memang melebar luas ke sejumlah wilayah lain, seperti perguruan tinggi, sekolah, dan masjid yang dianggap telah terpapar ‘radikalisme’. Beberapa profesor, dosen, dan mahasiswa yang dianggap radikal kemudian diproses oleh perguruan tinggi masing-masing. BNPT juga mengeluarkan daftar berisi tujuh universitas negeri ternama di Indonesia yang dianggap terpapar ‘radikalisme’, yang kemudian diklarifikasi oleh Menristekdikti sebagai dugaan belaka. Yang dimaksud radikalisme disini adalah mereka yang menjadikan aturan hidup sesuai dengan syari’at Islam. Itulah yang dianggap sebagai radikalisme berbasis agama, benarkah seperti itu?
Dikatakan radikal dan intoleran bagi mereka yang menjadikan Islam sebagai ideologi, menjadikan Islam sebagai solusi permasalahan kehidupan. Termasuk bagi yang membawa ide-ide Islam seperti ide khilafah seakan mengancam masa depan NKRI. Padahal kita tahu bahwa Khilafah bukan lagi hal baru, Khilafah adalah ajaran Islam. Namun saat ini ide Khilafah dianggap senjata untuk menghancurkan NKRI, dianggap intoleran dan memecahbelah kebinekaan. Pada akhirnya berbagai cara dilakukan untuk menghalangi peran Islam bagi kehidupan bernegara. Itu seakan mengingatkan kita akan Islam phobia, ketakutan pada Islam.
Sesungguhnya pergolakan antara kebenaran dan kebatilan akan terus berlangsung sampai Hari Kiamat. Pergolakan itu akan terus ada selama pengikut kebatilan masih ada, yakni mereka yang mengikuti bujuk rayu dan jalan Iblis. Iblis telah divonis kafir karena menolak perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Dia lalu diusir dari surga. Iblis kemudian berkata seperti yang dilukiskan dalam firman Allah SWT (yang artinya): Iblis berkata, "Tuhanku, karena Engkau telah memutus aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (TQS al-Hijir [15]: 39).
Itu artinya, akan selalu ada orang yang memusuhi risalah yang dibawa oleh setiap nabi. Demikian juga terkait Nabi Muhammad saw. dan risalah yang beliau bawa. Akan terus ada musuh dari golongan jin dan manusia yang memusuhi Islam dan kaum Muslim.
Allah SWT menjelaskan dalam banyak ayat, bahwa mereka yang memusuhi Islam dan kaum Muslim itu berasal dari kalangan kaum kafir. Allah SWT memberitahukan bahwa di antara kaum kafir itu, yang paling keras permusuhannya terhadap kaum Muslim adalah kaum Yahudi dan kaum musyrik (QS al-Maidah [5]: 82). Allah SWT pun memberitahukan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kaum Muslim sampai kaum Muslim mengikuti millah mereka (QS al-Baqarah [2]: 120).
Betul, permusuhan dan kebencian tidak otomatis tampak dari setiap orang kafir baik Ahlul Kitab maupun orang musyrik. Namun, permusuhan dan kebencian pasti tampak dari sebagian kaum kafir melalui lisan-lisan mereka. Yang tampak itu barulah sebagian dari kebencian yang tersembunyi di dalam dada mereka.
Khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing dalam khasanah keilmuwan Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi (1983), “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Karena merupakan istilah Islam, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariah Islam. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa Khilafah—sebagaimana saat ini—sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dsb terabaikan. Di bidang pendidikan, misalnya, negara menerapkan sistem pendidikan sekular. Di bidang ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal. Di bidang sosial, negara mengadopsi HAM Barat sehingga zina dan LGBT dibiarkan dan tidak dianggap kriminal.
Karena itu tentu aneh bin ajaib jika Pemerintah dan mereka yang dijuluki sebagai ulama dan pakar ketatanegaraan Islam ingin membuktikan bahwa Khilafah bukan ajaran Islam.
Dalil al-Quran lainnya antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Selain itu Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).
Berdasarkan paparan singkat di atas, masih adakah yang berani menolak Khilafah sebagai ajaran Islam?! Jika ada, semoga saja ia berani pula bertanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak. Wal ‘iyâdzu bilLâh! []