Ketika KIS Dinonaktifkan




Oleh Lulu Nugroho*



Sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pemerintah Kabupaten Cirebon, merapatkan soal penerima bantuan iuran, Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS),  yang dinonkatifkan. Tim akan mendata ulang penerima bantuan, untuk kemudian di ajukan anggaran. Namun, bagi yang mampu disarankan menggunakan BPJS mandiri. (Radarcirebontv, 22/8/2019)


Sebab belum lama ini sebanyak 166.178 warga peserta KIS yang dinonaktifkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Total warga miskin yang masuk BDT  1.048.575.  Sedangkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) warga yang masuk Basis Data Terpadu (BDT) adalah 653.423. Berarti sisa 395.152 tidak terakomodir KIS. 


Plt Kepala Dinas Sosial Kabupaten Cirebon Dr Iis Krisnandar menyatakan bahwa datanya terkesan kisruh antara satu instansi dengan lainnya. Solusi untuk masalah ini perlu dilakukan ferivikasi dan validasi data. Bisa jadi 166.978 warga yang dinonaktifkan KIS adalah warga mampu. Atau dulunya miskin, sekarang sudah mampu. 


Sementara Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Cirebon Dwiyani mengatakan bahwa 166.978 peserta KIS yang dinonaktifkan BPJS per 1 Agustus 2019, sebanyak 11.376 tengah menjalani proses pengobatan. Dwi meminta warga ini mengikuti BPJS mandiri dulu bagi yang mampu. Yang tidak mampu mengajukan lagi ke Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskessos).


Berita terkait peserta KIS dinonaktifkan, benar-benar mengejutkan warga. Kini mereka harus benar-benar miskin untuk mendapat fasilitas kesehatan yang terjangkau. Itupun belum tentu mendapat layanan berkualitas. Sulitnya hidup di negeri ini. Carut marut masalah kesehatan tidak kunjung usai. 


Sementara itu, wacana menaikkan iuran BPJS kesehatan, telah menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya layanan kesehatan yang ada belum sepenuhnya diterima oleh rakyat. Sedangkan nasib Rumah Sakit, petugas medis dan farmasi pun, masih terkatung-katung karena tunggakan BPJS belum terbayar. Hingga akhirnya berdampak kepada warga, sebab semakin rumitnya prosedur pelayanan.


Sayangnya negeri dengan mayoritas muslim ini, tidak menggunakan Islam sebagai asas untuk mengatur umat. Padahal Islam telah terbukti mampu menyelesaikan masalah kesehatan. Sebab dalam Islam, kesehatan seluruh warga ada dalam jaminan pengelolaan negara. Dalam Islam, tidak perlu membayar, semua gratis. Tidak perlu miskin, warga kaya pun mendapat layanan kesehatan. 


Rumah sakit di masa kejayaan Islam menjadi favorit pelancong asing. Mereka berlagak sakit agar dapat bermalam tanpa biaya. Sebab di masa itu rumah sakit, tidak berbayar. Jika terbukti tidak sakit, hari ke empat mereka diminta pergi. Karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari. 


Bandingkan dengan di masa sekarang, di mana orang sakit harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Ada jaminan kesehatan berupa KIS, akan tetapi tidak seluruh warga berhak atas layanan tersebut. BPJS mandiri pun bukan solusi, sebab ada unsur keharamannya di sana, yaitu unsur gharar dan riba. Oleh sebab itu BPJS mandiri menjadi hal dilematis bagi warga muslim.


Dilematis sebab di satu sisi, Islam melarang. Di sisi lain menjadi keharusan sebab terkait dengan sistem yang berlaku di negara ini. Inilah kondisi yang memberatkan. Sebab sakit, adalah sesuatu yang secara alami terjadi dalam kehidupan manusia. Tanpa campur tangan penguasa, maka warga harus berpikir keras untuk memenuhi kesehatannya.


Rakyat yang sehat dan kuat adalah aset bagi negeri. Oleh sebab itu, perlu kepemimpinan yang amanah, memberi kesejahteraan bagi warganya. Memimpin atas dasar iman kepada Allah. Sebab dengan melimpahnya kekayaan alam di negeri ini, adalah sebuah keniscayaan jika warga tidak perlu lagi ditarik bayaran untuk mendapat layanan kesehatan. Inilah saatnya kembali pada masa kejayaan Islam, di mana seluruh hak warga dijamin oleh negara. Wallahu 'alam.



*Muslimah Penulis dari Cirebon.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak