Nesvy Mayasari, S. Pd
Pendidik di MTs Al falah puteri Banjarbaru, Kalsel
Film remaja Dua Garis Biru garapan Starvision Plus telah menghiasi layar bioskop di seluruh Indonesia sejak 11 Juli 2019 lalu. Dalam laman ANTARA film Dua Garis Biru dinilai sangat menggambarkan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam program remaja di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani di Jakarta, Kamis, mengatakan film Dua Garis Biru dapat membantu BKKBN dalam menjangkau remaja Indonesia lebih luas dengan program Generasi Berencana (GenRe). Bahkan beliau menambahkan bahwa dalam program BKKBN sulit menggambarkan realita ini, tapi film Dua Garis Biru dengan mudah memberikan gambaran yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat.(https://pemilu.antaranews.com/berita/952358/film-dua-garis-biru-gambarkan-program-remaja-bkkbn).
Hal senada pun disampaikan oleh Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dwi Listyawardani mengatakan bahwa film tersebut bisa menjadi edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja yang menontonnya.
Film itu menggambarkan realita bahwa anak remaja sedikit mengetahui dan belajar tentang kesehatan reproduksi namun tidak mengetahui risiko-risiko yang bisa terjadi akibat perkawinan usia muda.
"Salah satu penyebab kematian ibu kehamilan usia terlalu muda," kata Dwi.
Menurut dia, menyampaikan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi, perencanaan kehidupan, dan nilai-nilai lain kepada remaja memang lebih tepat dengan menggunakan media film.
"Penyajiannya memang harus seperti ini, dalam bentuk ceramah orang nggak akan dengar, tapi dengan film seperti ini bisa tersampaikan," kata dia.
Dwi pun mengatakan BKKBN akan membawa film Dua Garis Biru sebagai sosialisasi program agar bisa ditonton oleh remaja di seluruh provinsi.
Sebelum muncul di muka publik, film yang disutradai Gina S Noer itu cukup mencuri perhatian bahkan Film Dua Garis Biru meraup setengah juta penonton setelah tiga hari tayang. Mengusung isu yang kerap kali tabu diperbincangkan yang mengisahkan sepasang remaja yang melampaui batas dalam berpacaran sehingga berujung pada pernikahan usia dini membuat dua Garis Biru mendapat pro kontra di awal kemunculan teasernya. Pasalnya Dua Garis Biru dianggap film yang tidak pantas untuk dikonsumsi khalayak umum. Karena adanya adegan adegan dewasa yang dipertontonkan serta menggambarkan kehidupan para remaja dengan pergaulan bebasnya. Maka, sangat disayangkan jika film semacam ini tayang di bioskop dan lolos oleh Lembaga Sensor Indonesia.
Kejadian semacam ini tidak lepas oleh sistem liberal yang menghiasi sistem negeri ini yang mengagungkan kebebasan. Kemajuan teknologi tidak didasari oleh akidah yang shahih. Industri perfilman yang seharusnya mengedukasi kepada masyarakat justru menjerumuskan generasi pada pergaulan bebas. Perfilman yang seharusnya menjadi wasilah terwujudnya rahmat bagi seluruh alam, namun dalam kendali sistem yang memiliki landasan sekulerisme dimaknai sebagai sarana untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya meskipun membawa kerusakan. Selama ada ynag berminat dan menjanjikan keuntungan, film akan dibuat dengan judul dan trailer yang menjual. Ditambah lagi tidak adanya regulasi yang menbatasi indsutri perfilman saat ini, bahkan sebaliknya didukung oleh pemerintah sebagai industri kreatif yang menggiurkan. Industri media yang memanfaatkan kemajuan teknologi RI 4,0 sungguh dianggap sebagai pundi-pundi emas pada negara kapitalis yang mengendalikan negeri ini. Ini artinya rezim saat ini tidak berdaya mengendalikan arus liberalisasi yang menghancurkan generasi melalui perfilman. Masyarakat yang miskin iman pun dibiarkan untuk berperang melawan bombardir virus nilai-nilai yang merusak dan sajian insentif media yang mendorong pada kemaksiatan.
Padahal dalam Islam ketika menggunakan media massa seperti film harus diselaraskan dengan pembinaan generasi sesuai dengan tujuan pembentukan kepribadian Islam dalam diri mereka. Sebab media massa merupakan media komunikasi yang berfungsi menciptakan sebuah opini publik yang kemudian menjadi opini umum. Film dalam sistem Islam sebagai media dakwah dan edukasi. Berisi konten-konten yang mendidik, berisi hal-hal yang bisa meningkatkan ketakwaan dan memberikan gambaran kepada masyarakat bagaimana kehidupan bernegara yang baik, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, negara memiliki peran utama dalam mengendalikan produksi film dan tidak boleh berlepas tangan. Ini hanya akan terjadi jika negara menjadikan keimanan sebagai pondasi pemerintahannya. Negara seperti inilah yang dinamakan Khilafah.