Kemerdekaan yang Tertukar



Oleh, R. E. Febrianti, S. AP


Beberapa bulan lalu, santer diperbincangkan mengenai bendera Al-Liwa dan Ar-Rayyah atau bendera Islam berwana hitam dan putih, yang betuliskan kalimat tauhid Laa Illaha Ila Allah yang terpampang saat MPLS di MAN 1 Sukabumi. Hal ini langsung menyita pehatian Menteri Agama RI. Dirinya langsung mengirim tim khusus untuk investigasi ke lokasi. Selang beberapa hari kemudian, Kapolda Jabar juga bertandang ke Sukabumi untuk menyikapi peristiwa tesebut.  Tak cukup disitu, dalam momentum Agustus, seolah menebus rasa bersalahnya, siswa-siswi MAN 1 Sukabumi mengibarkan 1.455 bendera merah putih.

Masih tentang bendera. Mantan Artis cilik, Dena Rachman membawa bendera merah putih di event “New York Pride”. Pelaku transgender itu terlihat membawa bendera Indonesia di acara Parade tebesar pergerakan kaum LGBT di Amerika. Ia terlihat sedang berjalan bersama dengan beberapa orang yang memakai pakaian adat Bali. Namun, tak ada sedikitpun reaksi dari Menag ataupun pihak bewajib. Bahkan, dalam acara tashrif award, Pak Menag mengomentari, bahwa menurutnya kaum LGBT mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Dan menurutnya itu adalah sesuatu yang baik, karena dengan begitu, apalagi disiarkan oleh media, seluruh masyarakat Indonesia akan memahami kondisi mereka. 

Bagi orang yang berfikir waras, apalah yang salah dengan kalimat tauhid? Meng-esakan Allah dengan mengenalkan bendera Rasulullah. Apalah yang harus dipermasalahkan bagi anak-anak Rohis yang mencoba mengenalkan bendera Islam kebanggannya, dibanding dengan aktivitas anak-anak sebayanya yang melakukan tawuran, free-sex hingga mengkonsumsi Narkoba. Bendera tauhid, distigmakan dengan makna radikal. Namun bendera pelangi dikampanyekan sebagai identitas kebebasan bekespresi. Inilah yang disebut perilaku liberal!

 Inilah zaman, dimana sesuatu yang baik menjadi buruk. Begitu pula hal yang buruk malah dipandang baik. LGBT sudah jelas haram hukumnya, selain mengundang azab Allah, hal itu juga membawa mudhorot bagi negara. Akan terjadi lost generation, jika LGBT terus dibiarkan bahkan diberi ruang. Namun atas nama kemerdekaan kebebasan, LGBT dipandang sebagai bentuk ekspresi perasaan kaum minoritas. 

Di sisi lain, makna kalimat tiada Tuhan selain Allah yang menyiratkan bahwa hanya hukum syara’ saja yang berhak mengatur semua urusan, dimaknai sebagai faham radikal. Faham yang akan memecah belah NKRI.  Astaghfirulloh. Padahal  dengannya, semua problematika kehidupan terurai dengan sangat rinci. Mereka menutup mata, bagaimana Khilafah berdiri gagah selama 13 abad. Manusia hidup dalam kesejahteraan. Semua penduduk bumi hidup dalam keteraturan.

Inilah yang mereka sebut dengan merdeka. Merdeka dalam mengekspresikan sebuah kemaksiatan. Berhasil membungkam orang-orang peneyeru Islam kaafah yang mengajak kepada kebaikan. Menanamkan rasa bersalah pada individu dan institusi yang mengibarkan bendera Tauhid. Padahal, sejatinya merekalah yang  telah membuka pintu penjajahan dengan kebebasan perilakunya. Kemerdekaan yang menghantarkan generasi  muda ke jurang kehancuran.  

Andai saja mereka berfikir, bahwa kemerdekaan hakiki adalah saat diri lepas dari penghambaan kepada manusia dan aturan-aturan buatan manusia. Merdeka adalah kala hukum Islam menggantikan seluruh hukum jahilliyah yang menjadikan umat manusia terjajah. Saat ini, mereka sang pejuang ‘kebebasan’ merasa aman dan diakomodir oleh para pemangku kebijakan. Mereka merasa aman. Merasa nyaman dengan perilaku hewaninya. Namun Demi Allah, mereka tak akan pernah merasa aman di hari kiamat.

Tidakkah terfikirikan hadits yang diiwayatkan Ibnu Hibban “Demi keperkasaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan pada diri hamba-Ku dua ketakutan dan dua rasa aman. Bila dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan membuatnya aman di hari kiamat. Tapi bila dia merasa aman dari-Ku (pengawasan-Ku) di dunia maka Aku akan membuatnya takut di hari kiamat."  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak