Oleh : Rahmelawati
Alumni Mahasiswi Kampus Swasta Banjarmasin
Membangun ketahanan keluarga merupakan suatu kewajiban bagi kepala keluarga, bahkan negara pun ikut andil dalam hal ini, mengingat populasi yang terus bertambah dan bumi selalu constant (tetap). Oleh karena itu pada tanggal 29 Juni 1949 merupakan hari kembalinya para pejuang dari medan perang kepada keluarga masing-masing. Inilah yang melandasi lahirnya Hari Keluarga Nasional (Harganas).
Tanggal 29 Juni lalu Indonesia kembali memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Mengambil lokasi di Kota Banjarbaru-Kalimantan Selatan, puncak peringatan Harganas XXVI Tahun 2019 secara nasional akan digelar pada 7 Juli 2019. Tema Harganas 2019 adalah “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”. (https://fajar.co.id/2019/02/05). Kalsel dinilai baik dalam capaian program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) sehingga dipilih menjadi tempat penyelenggaraan peringatan ini.
Peringatan Harganas kali ini bertujuan meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dalam kerangka ketahanan keluarga. Berbagai kegiatan akan digelar dalam mewarnai peringatan Harganas, baik pra puncak peringatan maupun pasca acara. Di antaranya Festival Penggalang Ceria, GenRe Edu Camp, One Stop Service pelayanan untuk anak anak, One Day for Children untuk anak-anak terlantar juga pelayanan KB gratis untuk pasangan usia subur. "Ingat bumi kita ini stagnan, dia tidak berubah, tidak akan bertambah luas. Tanah yang ada dimanfaatkan oleh warga bumi dan semakin berkurang karena populasi manusia yang selalu bertambah. Salah satu upaya untuk meminimalkannya, dengan melaksanakan program Keluarga Berencana," ujar Sahbirin Noor. (https://www.beritasatu.com/4/2/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 hasil Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015 bahwa populasi penduduk Indonesia terbesar keempat dunia yaitu mencapai 267 juta jiwa per Januari 2019 merupakan potensi sekaligus menjadi ancaman pembangunan keluarga di Indonesia.
Kekeliruan Persepsi Membangun Ketahanan Keluarga
Sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat secara resmi menetapkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs sebagai kesepakatan pembangunan global hingga tahun 2030 yang diikuti oleh 193 negara. Dinyatakan bahwa salah satu Tujuan SDGs adalah mengatur tata cara dan prosedur masyarakat yang damai tanpa kekerasan, nondiskriminasi, partisipasi, tata pemerintahan yang terbuka serta kerja sama kemitraan multi pihak. Terdapat 17 tujuan dengan 169 target global dan 96 target nasional SDGs ini, yang pada poin ke-2 dan ke-4 khususnya tercermin pada tema Harganas kali ini yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi dan mempromosikan pertanian berkelanjutan dan pencapaian kesetaraan gender dan memberdayakan semua wanita dan perempuan.
Kekeliruan dalam memandang dan standarisasi keluarga yang kuat disandarkan pada nilai-nilai sekuler, materialis, liberal yang bertolak belakang dengan Islam, fitrah manusia, dan kaum muslim. Tentu, hal ini tidak layak diambil oleh kaum muslim. Lucunya, pertambahan penduduk dijadikan ancaman bagi keluarga dan bangsa dalam membangun ketahanan keluarga. Kerusakan yang menimpa generasi pada hari ini tidak lepas dari peran pemerintah yang semakin abai dan bahkan tidak mampu menjadi pelindung bagi umat. termasuk didalmnya keluarga, masyarakat dan generasi penerus. Bayangkan saja, ketika adanya pencegahan untuk pernikahan dini dengan slogan “Cinta Terencana”. Padahal dalam Islam sudah jelas mengenai kapan seseorang itu dapat menyempurnakan separu agamanya, yaitu ketika seseorang itu mampu dan tidak dilihat dari batasan usia. Sebagaimana hadist Rasulullah yang berbunyi “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng)”. Hal ini jelas digunakan oleh orang-orang kafir untuk memojokkan bahkan menyerang syariat islam jika pernikahan dini hanyalah memasung kebebasan seorang wanita dalam berkarir sehingga membuat mereka lupa dengan fakta meningkatnya angka perceraian dan kemiskinan keluarga yang dialami oleh pasangan usia dewasa. Bagaimana pula kehidupan seks bebas yang melanda “usia dini” kita hari ini hanya ditutup dengan kalimat “pacaran sehat”. Faktanya kemiskinan keluarga tidak hanya menimpa keluarga dengan banyak anak maupun keluarga usia dini. Betapa banyak keluarga yang tak banyak anak dan usia dewasa ditimpa persoalan yang sama. Pada tahun 2019 ini hingga bulan Juni terdapat lebih 1.150 kasus perceraian gugat dan talak. Menurut Bahtiar MH (Kahumas Pengadilan Agama Banjarmasin), hampir 90 persen, penyebab perceraian tersebut disebabkan karena masalah ekonomi, baik karena ekonomi berlebih atau karena ekonomi rumah tangga yang tidak mencukupi, yang terbanyak adalah pasangan usia 20-40 tahun kemudian usia 40-50 tahun yang dipicu oleh persoalan ekonomi, baik ekonomi berlebih maupun kurang. ( www.liputan6.com/3/7/2019).
Fakta diatas memiliki korelasi yang kuat. Pecahnya keluarga berimbas pula terhadap rusaknya generasi muda. Karena keluarga adalah institusi terkecil sebagai penjaga, dan pendidik bagi anak-anak dan remaja. Keluarga tempat lahir dan dididiknya generasi penerus peradaban. Keluarga harusnya menjadi tempat yang hangat ketika anak dilanda masalah, tapi semua telah berubah. Sang Ayah sibuk dengan pekerjaannya, bahkan sang Ibu juga tak mau kehilangan kesempatan mengejar karier nya. Dalih demi untuk memberi uang jajan yang cukup, fasilitas gadged, hp android, laptop dan fasilitas lainnya dianggap cukup menggantikan peran keibuan dan pendidikan putra putrinya. Anak - anakpun tumbuh tanpa kontrol jauh dari pengawasan orang tua, dan tiba-tiba saja mereka kaget ketika buah hatinya yang polos terseret berbagai pergaulan bebas diluar sana. Dan yang tak kalah mencengangkan dari halini adalah ketika si ibu merasa mampu mendapatkan penghasilan yang memadai dari hasil beliau bekerja, meski harus mengabaikan peran yang sesungguhnya. Maka tidak perlu heran jika banyak perempuan yang kurang menghormati suaminya sendiri, ditambah lagi dengan penghasilan si Ibu yang bisa melebihi si Ayah, maka sikap merasa mampu tanpa peran seorang suami pun tak terelakkan lagi.
Demikian pula menjadi jelas bahwa ini adalah bagian dari agenda global yang mendikte pembangunan atas negara lain padahal belum tentu program tersebut dibutuhkan. Belum lagi di dalam SDGs mengenai pembiayaan pembangunan ini bertumpu pada APBN, Public-private partnership (PPP), Sektor pendanaan korporasi (CSR, termasuk BUMN) dan Responsible investment (swasta-swasta). Padahal kita ketahui bagaimana rentannya APBN kita hari ini disebabkan negara dikelola berlandaskan ideologi kapitalisme yang menjadikan pemerintah tidak meletakkan visi pengayoman kepada rakyat yang diantaranya dibuktikan dengan penyerahan SDA negeri ini kepada swasta domestik maupun asing yang berdampak pada kesejahteraan rakyat dan kelemahan serta ketergantungan negara pada korporasi. Dimana kondisi ini memberi pengaruh besar diantaranya pada ketahanan keluarga Indonesia.
Pandangan Islam Terhadap Ketahanan Keluarga
Alloh SWT telah menghamparkan bumi ini untuk manusia dengan dilengkapi segala apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan ini. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 22 :
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Demikian pula dalam surat al-Hijr ayat 20:
”Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” Rasulullah saw pun bangga dengan banyaknya jumlah umatnya. Beliau Shalallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya : “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (HSR Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim). Oleh karena itu dari kacamata keimanan ini, sangat naïf jika jumlah penduduk dan usia menikah didudukkan sebagai biang persoalan.
Penyebab lemahnya pertahanan keluarga pada hari ini dikarenakan negara tidak hadir untuk melindungi umat. Kemiskinan yang melanda masyarakat serta rusaknya generasi dan disfungsi keluarga dan orangtua, pada hakikatnya dikarenakan arus kapitalisme global yang menyerang keluarga-keluarga kita. Kemapanan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, kualitas SDM dan kekuatan militer pada suatu negara sangatlah penting. Bagi negara kapitalis dengan ruh liberalismenya, sumber-sumber kekayaan alam dikuasasi dan dimiliki individu dan korporasi. Negara hanya kebagian pajak dan royalty. Sehingga, negara tidak mampu mengurusi umat, karena aset yang semestinya menjadi milik umat hanya dimiliki dan dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Sebagaimana Kalsel yang kaya akan batubara. Jika sumber daya alam yang satu ini memang milik umat dan dihitung nilainya perhari yang dikeruk oleh para korporasi tersebut tentu akan dapat membiayai secara cuma-cuma seluruh pasien rumah sakit pemerintah, bahkan seluruh warga kalsel yang sakit berikut operasional rumah sakitnya. Demikian pula pembiayaan pendidikan secara gratis dan sebagainya. Islam menjadikan kemapanan ekonomi dan kesejahteraan rakyat menjadi bidang yang sangat penting. Syariat Islam menggariskan politik ekonomi negara bertujuan bagi terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan dan papan serta kebutuhan pelengkap. Hal ini diantaranya dengan pengaturan sistem kepemilikan. Bahwasannya sumber daya alam yang melimpah adalah milik rakyat dan tidak boleh dimiliki oleh individu maupun korporasi. Dengan demikian, fakta besarnya jumlah penduduk bukanlah sumber masalah, sehingga tidak perlu disikapi dengan program nasional bahkan global Keluarga Berencana dan pencegahan perkawinan usia dini. Selama akar masalahnya yakni kesalahan dalam menata sistem kepemilikan dan pengelolaan SDA ini mengadopsi sistem kapitalis, seberapapun jumlah penduduk tetap akan menjadi persoalan.
Wallahua’lam bishowwab