oleh : Zai (Aktivitis Mahasiswi)
Fenomena kerusakan moral remaja di Indonesia berlanjut. Ibarat penyakit yang sebelumnya hanya gejala kini menuju penyakit kronis yang sulit untuk disembuhkan. Setiap hari bahkan setiap saat portal berita senantiasa memberitakan kejadian-kejadian yang membuat kita menghela nafas panjang dengan fakta yang disajikan. Wajar saja bila fenomena kerusakan remaja semakin mengerikan karena selama ini solusi-solusi yang diberikan belum secara paripurna mengatasi hal tersebut. Berikut beberapa fakta nol koma sekian persen dari data yang menunjukkan fenomena kerusakan remaja.
Kasus pembunuhan terhadap anaknya sendiri yang dilakukan oleh remaja berinisial SNI (18) di dalam toilet Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Beriman pada Rabu 24 Juli sekira mendapat kritikan pedas dari masyarakat. Banyak yang mempertanyakan mengapa pelaku bisa tega membunuh dengan keji terhadap buah hatinya yang ia lahirkan.
Bayi berjenis kelamin perempuan itu tewas setelah mulutnya disumpal tisu toilet dan tali pusarnya dicabut. Setelah tewas, jasad bayi dimasukkan kedalam kantong plastik dan berencana membuangnya di luar. Aksinya pun ketahuan petugas rumah sakit saat hendak melarikan diri.
Dari keterangan SNI dihadapan awak media mengatakan bahwa perempuan asal Tenggarong ini sejatinya tak ingin hal ini terjadi. Namun lantaran belum siap menikah dan belum siap punya anak, ia pun terpaksa melakukan hal itu. Padahal sang pacar diakui SNI telah siap untuk mengarungi rumah tangga bersamanya. (kutipan Okezone.com/28/7/1)
Saat ini kehamilan diluar nikah kini menjadi hal biasa. Karena tak ada sanksi tegas bagi pezina. Sanksi hanya berlaku ketika ada hukum yang telah tertulis seperti kejadian tersebut kemudian akan diproses sedangkan biang utama zina sendiri tidak pernah ada hukum yang melarang kecuali hukum Islam. Sehingga wajar zina marak ditengah-tengah masyarakat kejadian yang menyebabkan kejadian yang sama terus berulang.
Tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah dalam beberapa bulan terakhir. Fenomena ini menambah potret buram Sulawesi Tengah sebagai salah satu daerah dengan prevalensi pernikahan anak terbanyak.
Kasus pernikahan anak korban gempa ini disebut sebagai "fenomena gunung es", mengingat terdapat 400 titik pengungsian yang tersebar di lokasi bencana dan belum semuanya 'terjamah' oleh pegiat hak perempuan dan perlindungan anak.
Wartawan BBC News Indonesia Ayomi Amindoni dan Dwiki Muharam, mencari tahu lebih dalam di balik fenomena pernikahan anak penyintas korban bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada September 2018 silam.
Pernikahan anak dibawah umur juga tak lepas dari tatanan kehidupan saat ini yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Remaja saat ini sangat minim pemahaman agama, tidak bisa mengontrol diri dan terjebak dalam lingkungan yang bebas tanpa aturan agama.
Kenyataan kehidupan sekuler memberi ruang kebebasan pada remaja dalam berperilaku kemaksiatan yang mencabut fitrah manusia.
Negara gagal mendidik remaja berkarakter (siap bertanggung jawab pada pilihannya) dan melindungi mereka dari pergaulan bebas .
Sistem kehidupan seperti ini tidak akan pernah bisa diharapkan untuk memperbaiki generasi moral remaja yang rusak. Sehingga
Kita memang memerlukan suatu sistem yang lengkap dan paripurna menyelesaikan segala persoalan kehidupan termasuk fenomena kerusakan remaja.
Islam melindungi remaja dari kemaksiatan dan mendidik mereka dengan karakter syakhshiyyah Islam (siap bertanggung dihadapan Allah dalam menjalani kehidupan dunia). Karena Islam memiliki pengaturan preventif dari pendidikan, ekonomi dan dari segala aspek kehidupan. Sehingga dapat menyelesaikannya secara paripurna.