Oleh : Fitri Apriyani
( Aktivis Dakwah Lubuk Pakam )
Masih segar dalam ingatan kasus yang terjadi di sekolah Jakarta International School (JIS), sangat miris karna pelaku utamanya adalah oknum guru asal Kanada, Neil Bantlemen. Neil Bantlemen divonis Mahkamah Agung dengan hukuman 11 tahun penjara atas pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap 3 orang anak, empat tahun silam. Harusnya hukuman itu akan selesai pada pertenganhan tahun 2026.
Namun ada hal yang mengejutkan terjadi, sejak tanggal 21 Juni 2019 lalu, pedofil itu telah dibebaskan oelh orang nomor satu di Indonesia, karena mendapat grasi sesuai keputsan Presiden nomor 13/G tahun 2019, berisi pengurangan hukumn pidana penjara dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dengan denda pidana RP. 100 juta. (Jakarta,kompas.com)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan kebijakan Presiden Jokowi memberikan grasi kepada waraga Kanada tersebut, Neil Bantleman, terpidana kasus pelecehan seksual siswi Jakarta International School (JIS). Putu Elvina mengatakan, grasi Jokowi menjadi lembaran Hitam terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Kasuspelecehan seksual siswi JIS harusnya menjadi komitmen pemerintah memberi perlindungan kepada anak Indonesia. (CNNIndonesia,Jum’at 12/7)
Pemberian grasi kepada terpidana kasus pelecehan seksual bertolak belakang dari upaya pemerintah melindungi anak – anak dari pelecehan seksual. Sebelum memberiakan grasi harusnya pemerintah mempertimbangkan nasib korban kekerasan seksual. Alih – alih menyelamatkan generasi penerus , justru malah merusak fisik dan jiwa anak – anak tidak berdosa.
liberalisasi saat ini telah berhasil menampakkan wajahnya, asas kebebasan yang disandangnya akan memberikan hokum yang berasas bebas pula, yang akhirnya tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, namun justru malah melindungi para pelaku kejahatan. Hal ini membuktikan lemahnya peran Negara dalam menghadapi pelaku criminal. Alih – alih memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual, Negara malah memberikan grasi yang menyakitkan para korban. Maka tidak heran jika kasus pedofilia di negri inivtidak ada habisnya, justru semakin marak terjadi dan mengancam masadepan generasi penerus saat ini. Karena pada faktanya penyimpangan seksual hanyalah penyakit menular yang membahayakan moral dan kualitas generasi.
Perlindungan terhadap anak sebagai generasi yang unggul hanya akan terwujud dengan diterapkannya system islam dalam setiap aspek kehidupan. Karena hokum saat ini tidak bersumber dari alQur’an dan As –sunnah, sehingga jauh dari kata adil. Di dalam islam, jika ditemukan ada seseorang yang menunjukkan gejala penyimpangan sebagai pedofil, maka masyarakat akan mengingatkannyauntuk berhenti dari kemaksiatan tersebut. Masyarakat akan melakukan control secara kolektif dengan adanya kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan aktivitas tersebut masyarakat akan merasa aman dari predator yang mengintai anak – anaknya. Sementara bagi pelaku pedofilia akan dihukum sesuai dengan fakta perbuatannya. Jiak yang dilakukannya adalah perbuatan zian, maka hukumannya adalah dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah, dan dijilid 100 kali baagi yang belum menikah. Dan jika yang dilakukannya adalah homo seksual (liwath) maka hukumannya adalah mati sesuai dengan kebijakan Negara. Sedangkan pelaku pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina dan liwath, maka hukumnya ta’zir sesuai kebijakan Negara. Sanksi tersebut dilakukan secara terbuak dan disaksikan oleh masyarakat tanpa penundaan , bukan malah memberi grasi.
Dengan demikian pelakuku kejahatan tidak memiliki peluang untuk mengulangi perbuatannya. Begitulah indahnya hokum islam yang berfungs sebagai pencegah dan penebus dosa agar memberiakan efek jera kepada pelakunya dan sebagai renungan bagi masyarakat yang menyaksikannya. Dengan demikian perlindungan anak secara sempuran dapat terwujud. Wallhu A’lam Bishowab.