Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
(Praktisi Pendidikan Konawe)
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, mewacanakan kembali akan mengundang rektor dari luar negeri untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia. Pemerintah menargetkan pada 2020 sudah ada perguruan tinggi yang dipimpin rektor terbaik dari luar negeri dan pada 2024 jumlahnya ditargetkan meningkat menjadi lima PTN (Metrotvnews.com, 02/08/2019).
Meski menuai polemik, kontroversi, bahkan penolakan, wacana ini kabarnya tetap akan direalisasikan. Mengingat, kualitas kampus di Indonesia yang dinilai belum mampu bersaing secara signifikan dengan kampus-kampus ‘besar’ yang ada di dunia. Berdasarkan lembaga pemeringkat perguruan tinggi dunia yang diacu Kemenristekdikti, QS World University Ranking, universitas yang diunggulkan pemerintah, yaitu Universitas Indonesia, berada di peringkat 296. Universitas lainnya, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), berada di peringkat 300-an.
Posisi ini jauh di bawah sejumlah universitas lain di kawasan Asia, seperti China, Hong Kong, dan Korea Selatan. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia masih sangat tertinggal dari universitas di Singapura dan Malaysia.
Kapitalisasi Pendidikan
Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia menekankan sinergisitas kampus sebagai institusi pendidik, penelitian, sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Namun faktanya, konsep tersebut telah banyak bergeser. Kampus cenderung diisi oleh oknum yang mendikte jalur pendidikan sebagai lahan bisnis. Alhasil, kualitas perguruan tinggi di Indonesia menjadi permasalahan serius yang menuntut untuk segara dituntaskan.
Meski demikian, peningkatan kualitas perguruan tinggi bukan hanya sekadar dikelola oleh pemimpin yang mumpuni, melainkan ditopang oleh sistem yang benar. Konsep yang tepat. Sementara, sudah menjadi rahasia umum jika pendidikan di Indonesia sarat akan aroma kapitalisasi. Lihat saja biaya pelatihan masuk perguruan tinggi yang berkisar Rp 3 juta sampai Rp 40 juta. Untuk beberapa perguruan tinggi, biaya tes minimumnya berkisar Rp 1 juta. Sedangkan dana pembangunan minimal Rp 10 juta sampai dengan Rp 100 juta.
Dari data tahun 2012, Kompas.com, bagi calon mahasiswa baru yang lolos tes tulis jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, harus membayar Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan (SPFP) senilai Rp 30 juta. Sementara bila lolos melalui jalur mandiri di Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Malang, calon mahasiswa baru harus membayar SPFP sebesar Rp 155 juta.
Muatan kapitalisasi bercampur liberalisasi juga tertuang dalam peralihan fungsi riset. Riset yang tadinya merupakan penelitian yang dibutuhkan oleh masyarakat beralih fungsi menjadi riset yang diinginkan para pengucur dana. Kampus akan lebih memilih sibuk berbisnis untuk keberlangsungan hidupnya daripada berkonsentrasi pada peningkatan mutu intelektual sumber daya manusia yang dimiliki. Hal ini makin memperjelas liberalisasi perguruan tinggi agar dikuasai sepenuhnya oleh asing yang berideologi sekuler untuk menghasilkan generasi liberal yang melanggengkan penjajahan ekonomi dan politik barat.
Padahal, beragam penolakan telah dilontarkan oleh elite politik negeri ini dengan berbagai pertimbangan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Reni Marlinawati, misalnya. Ia mengungkapkan bahwa selain dipandang sebagai bentuk kelemahan Kemenristekdikti dalam membangun perguruan tinggi di Indonesia, wacana ini juga terlihat seolah-olah Kemenristekdikti tidak percaya atas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki anak bangsa. Sebab, ada nilai yang ditransfer dalam praktik pendidikan, yakni nilai kebangsaan, keagamaan, kebudayaan, dan moral (Medcom.id, 30/07/2019).
Pendidikan Tinggi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, setiap orang dituntut untuk menjadi intelektual yang memiliki kecerdasan integral. Kecerdasan tersebut meliputi kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan politik. Seorang intelektual Islam perlu memiliki penguasaan tsaqofah Islam, ilmu kehidupan, dan komitmen memegang prinsip dasar Islam. Sehingga, orang tersebut dapat menyelesaikan seluruh masalah yang dihadapinya dalam kehidupan.
Sistem pendidikan tinggi menjadi hal yang mutlak disediakan oleh negara. Mulai dari kurikulum, sarana, sampai para pendidiknya. Dipastikan itu semua bebas dari tsaqofah asing. Sebab, dari perguruan tinggi lah lahir profesi-profesi yang keberadaannya wajib kifayah bagi masyarakat (dokter, guru, polisi, perawat, dsb). Negara wajib mengupayakan agar pendidikan memiliki kualitas yang mumpuni dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam mencari ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan panduan agar selalu berjalan sesuai syariat Allah Swt. Penggunaan teknologi, misalnya. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmatan lil alamin, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.
Sejarah ilmu pengetahuan juga mencatat bahwa dunia Islam pernah mencapai penguasaan gemilang di bidang sains dan teknologi. Sederet nama ilmuwan masyhur dapat kita temukan dalam lembar history seperti Ibn Battuta (geografi), Ar-Razi (pediatrik), Ibnu Sina (kedokteran), Ibn Al-Haytham (fisika-optik), Banu Musa (teknik), Ibnu Yunus (astronomi), Ibnu Hayyan (kimia), Al Khawarizmi (matematika), dan banyak lagi yang lain.
Kecemerlangan ini dapat diperoleh ketika Islam tidak dianggap sekedar agama ritual, namun diterapkan secara menyeluruh dalam sistem Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bisshawab.
Tags
Opini