Oleh : Ummu Aribah, STP,
(Pemerhati Sosial)
Beredar foto anak-anak MAN 1 Sukabumi Jawa Barat mengibarkan bendera tauhid. Anggota DPR komisi VIII, Ace Hasan Syadzily meminta Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin untuk segera mengklarifikasi dan mencari tahu kebenaran foto tersebut. Gayung bersambut Menag langsung mengirim tim untuk investigasi. Kami serius menangani kasus ini, kata Menag.
Sementara itu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi.
Hal senada dilakukan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, dia meminta kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) agar ASN yang terpapar paham intoleransi dan radikalisme bisa dipecat lebih cepat. Sebab, mereka yang terpapar paham itu akan terus melakukan perlawanan, baik melalui ideologi dan membangun wacana melalui media sosial (medsos). Jika sudah terpecah, identitas mereka pun muncul dan sangat sulit untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Riyamizard Ryakudu mengobral tudingan kepada TNI, kurang lebih 3 persen TNI terpapar radikalisme.
Kasus terbaru, Presiden Joko Widodo membuka kemungkinan izin Front Pembela Islam (FPI) sebagai Ormas tidak diperpanjang. Hal ini diungkapkan Presiden dalam wawancaranya dengan Associated Press (AP), FPI mungkin dibubarkan,jika dari sudut pandang keamanan dan ideologis, menunjukkan tidak sejalan dengan negara.
Islamophobia bernuansa Politis
Radikalisme makin populer dalam nomenklatur politik di Indonesia seiring pencabutan Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI. Sayangnya, paham atau sikap ekstrem dalam pembaruan sosial dan politik ini acap dipakai keliru, terutama narasi "radikalisme" kini lebih sering disematkan pada gerakan Islam politik. Padahal, pemikiran radikal dapat diamini oleh individu maupun kelompok apa pun yang menentang pemerintah atau menginginkan perubahan sistem kekuasaan secara progresif.
Ahmad Khozinudin dari LBH Pelita Ummat menegaskan, isu radikalisme penuh dengan nuansa politis ketimbang hukum. Tuduhan itu hanya bersifat sepihak dari Pemerintah tanpa proses hukum. Jika benar ada anggota TNI keliru, seharusnya diambil tindakan secara internal. Jika benar dan terbukti, harusnya dibawa ke Mahkamah Militer, atau setidaknya diproses oleh Propam militer, bukan diumbar diruang publik.
Prof. Suteki, guru besar Undip mengatakan, isu radikalisme hanyalah narasi politik, bukan narasi ilmiah atau narasi hukum. Tidak ada kegiatan yang memaksakan kehendak, apalagi menggunakan kekerasan. Tugas kampus adalah meruhanikan ilmu pengetahuan, bukan malah dituduh penebar ketakutan.
Ketua BEM Undip tahun 2018 menyatakan bahwa tidak ada kegiatan di kampusnya yang radikal, meskipun Undip disebut sebagai salah satu kampus yang terpapar radikal. Jadi, tuduhan radikalisme sekedar propaganda bukan fakta.
Islam Rahmatan Lil'alamin
Allah menurunkan risalah-Nya lengkap dan paripurna untuk rahmat bagi semesta alam. Islam menghargai keberagaman, perbedaan adalah keniscayaan. Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal (Q.S Al Hujurat:13)
Islam juga menjunjung tinggi toleransi. Hal tersebut kita bisa lihat di Surat Al Kafirun ayat 6, "Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku". Bahkan dalam peperanganpun, Rosulullah SAW menegaskan kepada para sahabat untuk tidak mengganggu orang non muslim yang sedang beribadah. Rasulullah juga melarang menghancurkan tempat-tempat ibadah. Kalimat terindah tentang toleransi termaktub pada Surat Al Baqoroh 256, "Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam"
Fakta sejarah juga menunjukkan, Islam memimpin peradaban dunia selama 1300 tahun belum pernah ada genosida terhadap pemeluk agama lain. Justru sebaliknya, ahlu dzimmah (warga negara non muslim) dijaga dan dilindungi baik jiwa, harta dan kehormatannya. Bahkan untuk yang udzur, ketika tidak ada kerabat yang menanggungnya, mendapat santunan dari negara.
Isu dan propaganda radikalisme muncul dari Islamophobia akut yang sengaja dihembuskan barat untuk menghalangi kebangkitan Islam. Sayangnya para petinggi negeri salah persepsi, ikut latah mengikuti genderang barat.
Isu radikalisme hanyalah tuduhan sepihak, berpotensi membelah persatuan bangsa. Ketika satu kelompok "dicap" radikal, maka sesama anak bangsa akan saling curiga. Rasa saling curiga yang mengoyak persaudaraan dan persatuan anak bangsa. Persatuan hanya tinggal sebatas retorika dan fatamorgana.
Islam diturunkan untuk membawa rahmat, bukan ancaman. Justru ancaman nyata negara ini adalah sosialisme dan kapitalisme sekuler. Akibat penerapan sistem sekuler, betapa banyak remaja yang kena narkoba, terlibat tawuran dan pergaulan bebas. Betapa banyak pejabat yang terinsikasi korupsi dan menjual aset bangsa atas nama investasi. Inilah ancaman nyata negeri kita.