Oleh: Chezo*
Masalah kelaparan ternyata tak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan, sebuah laporan yang dirilis oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, 820 juta orang tidak makan dengan cukup pada 2018. Dikutip dari laman resmi WHO setidaknya pada tahun 2018, satu dari sembilan orang di dunia menderita kelaparan. Angkanya adalah 821,6 juta orang. Angka tersebut naik dari 811 juta di tahun 2017. Laporan tersebut menyatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan rendah adalah 20,5 juta atau satu dari tujuh anak. Sementara, anak di bawah 5 tahun yang terkena stunting adalah 21,9 persen atau 148,9 juta dan anak di bawah 5 tahun yang terkena wasting adalah 49,5 juta atau 7,3 persen. (m.liputan6.com/14/08/2019)
Permasalahan kelaparan di Indonesia sesungguhnya telah memasuki skala yang cukup serius. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan pangan belum sepenuhnya menyentuh seluruh warga Indonesia. Penyebab bencana kelaparan biasanya dikarenakan adanya konflik, kemiskinan, kekeringan, ataupun korupsi yang dilakukan dalam pemerintahan. Sebenarnya yang menjadi masalah dalam bencana kelaparan bukan hanya tidak adanya koordinasi yang baik dan tidak ada barang-barang yang dapat dikonsumsi tetapi rendahnya kemampuan daya beli masyarakat akibat tingginya tingkat harga komoditi hingga pada taraf yang mencengangkan.
Rendahnya daya beli masyarakat diakibatkan karena adanya penerapan berbagai kebijakan ekonomi pro kapitalis/pro liberal yang berhasil memiskinkan rakyat secara struktural. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), privatisasi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak semisal pendidikan, kesehatan, listrik, air dan lainnya. Padahal negara berkewajiban untuk menuntaskan permasalahan tersebut secepatnya dengan memberikan kebijakan yang memihak pada rakyatnya.
Sebenarnya, berapa pun tingginya harga bahan pangan, tidak akan menjadi masalah atau dengan kata lain tidak akan menyebabkan krisis selama semua lapisan masyarakat mampu membelinya. Namun dalam faktanya senantiasa ada di tengah masyarakat orang-orang yang mampu dan tidak mampu. Masalahnya kemudian muncul ketika masyarakat yang tidak mampu tadi tetap “dipaksa” untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli barang yang tidak terjangkau harganya. Sehingga dengan mekanisme ini, seseorang seolah tidak berhak makan jika dia tidak mampu menjangkau harga bahan pangan tesebut.
Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis, di mana harga dijadikan sebagai pengendali tunggal distribusi barang di tengah masyarakat. Hargalah yang akan menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya sama sekali. Orang yang mampu membeli barang dengan harga tinggi, dia akan mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas yang diinginkannya. Sementara itu orang yang sama sekali tidak mampu menjangkau harga barang tersebut, dia tidak berhak mendapatkannya, meskipun barang itu merupakan kebutuhan pokok baginya. Dalam kondisi yang kedua inilah krisis akan muncul.
Dengan analisa demikian, jelaslah bahwa menjadikan harga sebagai unsur pengendali tunggal distribusi telah mengakibatkan buruknya distribusi barang di tengah masyarakat yang berpotensi menimbulkan terjadinya krisis sosial. Sehingga jelas pula, bahwa secara fundamental krisis pangan saat ini bukan disebabkan oleh kenaikan harga pangan yang dipengaruhi klaim-klaim faktor di atas, melainkan lebih disebabkan oleh distribusi yang buruk yang menjadi ciri utama dari kebijakan sistem kapitalis yang diterapkan sebagai grand rules hubungan ekonomi internasional. Distribusi yang buruk itulah yang menjadikan sebagian masyarakat tidak mampu, tidak mendapatkan hak untuk makan. Karena itu wajar jika fenomena krisis pangan ini tidak hanya terjadi di negara yang mengalami kelangkaan bahan pangan saja, akan tetapi juga terjadi di negara yang bahan pangannya cukup.
Melihat fakta kerusakan sistem kapitalisme ini, maka tidak seharusnya kita tetap mempertahankannya karena sistem ini hanya bisa memberikan ilusi kesejahteraan tanpa ada hasilnya walau selama apapun waktu yang dibutuhkan untuk membuktikannya. Sehingga sudah selayaknya kita campakkan sistem kapitalisme yang rusak ini dan menggantinya dengan sistem Islam agar rakyat dapat sejahtera dan mendapatkan berkah.
* (Aktivis BMI Community Cirebon)