Oleh: Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
KOMPAS.com- Tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah dalam beberapa bulan terakhir.
Fenomena ini menambah potret buram Sulawesi Tengah sebagai salah satu daerah dengan prevalensi pernikahan anak terbanyak.
Kasus pernikahan anak korban gempa ini disebut sebagai " Fenomena Gunung Es " mengingat terdapat 400 titik pengungsian yang tersebar di lokasi bencana dan belum semuanya " terjamah" oleh Pegiat Hak Perempuan dan Perlindungan Anak.
Wartawan BBC News Indonesia Ayomi Amindoni dan Dwiki Muharam, mencari tahu lebih dalam dibalik fenomena pernikahan anak penyintas korban bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada September 2018 silam.
https://amp.kompas.com/regional/read/2019/07/26/06370031/kisah-pernikahan-anak-di-kamp-pengungsian-palu-menikah-dengan-teman-hingga
Sudah jatuh tertimpa tangga, inilah peribahasa yang pas untuk menggambarkan fakta di atas. Belum sembuh duka lara akibat bencana kini kasus pernikahan anak menjadi rangkaian sebuah akhir cerita.
Sebagai seorang muslim yang masih beragama sebuah bencana seharusnya mampu mengantarkan seseorang kepada jalan pertobatan, namun semuanya itu tidak dilakukan. Tentu kita masih ingat beberapa saat setelah terjadi bencana penjarahan terjadi dimana- mana, betapa hal ini sesungguhnya membuat kita mengelus dada.
Bahkan lebih miris lagi ketika kasus pernikahan anak ini diibaratkan " Fenomena Gunung Es " itu berarti kasus yang serius ini tertutupi oleh banyak kasus lainya. Betapa kerusakan demi kerusakan di negeri ini tampak begitu nyata dan belum juga menemukan solusinya.
Keadaan ini diperparah dengan lambannya pemerintah dalam meri'ayah (mengurusi) rakyatnya. Hampir satu tahun berlalu bencana gempa ini terjadi, namun peran negara belum terlihat sama sekali dimana nasib mereka masih saja tetap sebagai pengungsi.
Sistem kapitalisme dengan asas sekulernya yakni pemisahan agama dari kehidupan tidak lagi menjadikan halal haram sebagai tolok ukur perbuatan maka lahirlah generasi rusak bak sampah peradaban.
Sekuler ini memberi ruang kebebasan pada remaja dalam berprilaku kemaksiatan yang mencabut fitrah manusia. Negara juga telah gagal dalam mendidik remaja berkarakter (siap bertanggung jawab pada pilihanya) dan melindungi mereka dari pergaulan bebas.
Jadi pernikahan dini, kasus aborsi, dan tindakan pembuangan bayi kerap terjadi .
Islam Pencetak Generasi Cemerlang !
Islam adalah sistem paripurna yang mampu melindungi remaja dari kemaksiatan dan mendidik mereka dengan karakter Syaksiyah Islam yang siap bertanggung jawab dihadapan Allah dalam menjalani kehidupan dunia.
Islam adalah agama yang sempurna, dimana peradabanya unik sangat jauh berbeda dari peradaban lain dikarenakan Islam memiliki tiga prinsip. Dimana akidah menjadi landasan, halal-haram menjadi tolok ukur perbuatan, dan standar kebahagiaan adalah untuk menggapai ridha Allah semata dengan inilah bisa dipastikan akan mampu melahirkan individu yang bertakwa.
Akidah adalah pemikiran menyeluruh terkait alam semesta, manusia, dan kehidupan dimana ketiganya mempunyai hubungan yang baik sebelum dan sesudah kehidupan.
Dengan akidah inilah mereka akan memahami untuk apa Ia diciptakan, untuk apa Ia hidup di dunia, dan mengetahui kemana tempat kembali.
Mereka akan meyakini bahwa sebelum kehidupan ada pencipta ( Al Khaliq ) yakni Allah SWT, di dunia baik alam semesta, manusia, dan kehidupan terikat dengan aturan Allah (Al Mudabir ), dan sesudah kehidupan akan ada akhirat yakni surga dan neraka dimana semua perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ( Hizab ), inilah mengapa Islam sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa.
Inilah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang hanya menerapkan peraturan yang bersumber dari wahyu Ilahi yang akan mampu melahirkan generasi berkepribadian Islami, tinggi pengetahuan dan kuat Iman yang mampu menaklukan peradaban.
Wallahu alam bish-sawab