Penulis : Hexa Hidayat, SE
Kerusuhan kembali terjadi pada tanggal 18 Agustus 2019, gedung DPRD dibakar dan jalanan di blokade warga dengan ban terbakar. Bahkan pengrusakan terjadi di beberapa titik termasuk di kawasan bandara, yang mengakibatkan aktivitas penerbangan lumpuh total. Kasus ini dipicu bermula dari adanya pesan whatsapp yang beredar mengatakan bahwa mahasiswa melakukan perusakan terhadap bendera merah putih, yang memicu ormas-ormas yang represif dan aparat mengepung asrama mahasiswa Papua tersebut. Kemudian beredar pula video rasisme oleh aparat dimana anggota militer menyebut mahasiswa dengan sebutan “monyet”, polisi itu memaksa masuk ke asrama mahasiswa Papua dan menangkapi mahasiswa seperti layaknya teroris.
Tapi, ternyata setelah diadakan pemeriksaan tidak ada mahasiswa yang menjadi tersangka perusakan bendera merah putih tersebut, yang artinya pesan yang beredar di whatsapp tersebut adalah berita bohong alias hoax. Akibat dari peristiwa tersebut, maka muncullah aksi protes terhadap tindakan rasisme yang mengakibatkan semua orang Papua tersulut emosi, bahkan muncul provokasi untuk mengusir seluruh orang Jawa dari Papua.
Peristiwa ini seolah menjadi kado pahit bagi bangsa Indonesia yang baru saja merayakan hari kemerdekaannya yang ke 74. Negara yang sudah lama merdeka tapi seakan-akan masih terjajah baik secara pemikiran maupun secara fisik. Bangsa yang seharusnya bisa bersatu tanpa memandang rasa kesukuan, kini bercerai saling mengklaim dan membela diri atas nama suku. Kerukunan antar umat maupun kebhinekaan pun ternodai.
Integritas bangsa yang dahulu di bangga-banggakan kini seolah hilang dengan tindakan anarkis yang dilakukan bahkan merugikan Negara sebagai wadah yang seharusnya bisa membina seluruh rakyatnya dalam suatu ikatan yang memiliki aturan, pemikiran dan perasaan yang sama.
Lalu, apakah sistem yg menganut paham liberal seperti sekarang akan mampu untuk menjaga integritas itu kembali. Dimana masyarakat yang seharusnya saling bahu membahu, tolong menolong dirusak secara pemikiran karena adanya sekat suku antara mereka. Dimana, ikatan yang mereka rasakan akibat dorongan dari naluri yang mendorong mereka untuk mempertahankan wilayahnya. Bagi mereka, hanyalah orang-orang yang mempunyai suku yang sama yang pantas mendiami wilayah dimana mereka sudah lama mendiaminya.
Akibat dari pemikiran yang sempit tapi menginginkan kebebasan yang luas maka timbullah tindakan disintegritas, mereka bertindak sebebas-bebasnya tanpa ada lagi aturan yang mengikat mereka, sampai akhirnya mereka berambisi untuk berkuasa dan mampu merebut kembali wilayah mereka, itulah kepuasan batiniah yang mereka dapatkan. Sayangnya, tindakan ini tidak dianggap serius oleh rezim liberal, karena bagi rezim hal ini merupakan suatu kebebasan berpendapat, dan berprilaku dan tidak perlu apresiasi khusus untuk penanganannya. Padahal, apabila dibiarkan hal ini bisa melebar menjadi suatu konflik yang tidak berkesudahan bahkan akan makin memperuncing keutuhan wilayah suatu Negara.
Dilihat dari pokok masalah diatas, bahwa rezim liberal tidak akan mampu mengatasi masalah kerusuhan akibat dari suatu ikatan yang mereka pertahankan, karena paham liberalisasi yang mengajarkan akan kebebasan tanpa memandang adanya aturan tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang timbul akibat rasisme yang dilakukan terhadap golongan tertentu. Lalu, dengan apakah kita bisa mengatasi disintegritas yang terjadi belakangan ini?
Seperti kita ketahui Indonesia memiliki beragam suku,agama, bahasa dan budaya, secara teori akan susah sekali untuk mengintegritaskan satu dengan yang lainnya. Tapi secara fakta tertulis, pada masa Rasulullah SAW telah berhasil menyatukan seluruh jazirah Arab dan membersihkan praktik paganisme melalui sistem Islam. Begitu juga pada masa pemerintahan khulafa’ Rasyidin, penyatuan Irak dan Persia yang penduduknya masih sangat heterogen yang terdiri dari kaum Nasrani, Mazdak dan zoroaster, Afrika utara yang terkenal dengan bangsa barbarnya, berhasil diintegrasikan dalam Daulah Islam.
Begitu juga zaman khilafah umayah sampai utsmani mereka berhasil disatukan dalam naungan Islam. Karena, Islam memandang bahwa integrasi tidak lepas dari perintah Islam, yang mengharuskan agar memandang rakyat yang diperintah dengan pandangan kemanusiaan, bukan pandangan sektarian, kelompok atau madzhab. Karena itu, hukum yang diberlakukan sama kepada seluruh komponen masyarakat, tanpa membedakan antara muslim dan non muslim. ALLAH SWT berfirman : Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( TQS. AL-Maidah [5]:8 ).
Jadi, hal yang sangat bisa diterima dengan akal bahwa sistem Islam dapat mengembalikan kembali kerukunan walaupun terdiri dari banyak keragaman di dalamnya, karena aturan Islam berasal dari ALLAH yang sudah terbukti selama 14 abad lamanya berhasil menyatukan pemikiran, perasaan dan peraturan setiap individu dalam wadah Negara Islam.
Wallahu a’lam.