Oleh: Jasli La Jate
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Indonesia, negeri zamrud khatulistiwa. Negeri subur lagi kaya sumber daya. Namun, kekayaan ini tidak membuat negeri ini bebas dari pengaruh luar bahkan sebaliknya belenggu asing semakin mencengkeram kuat. Terbukti dengan dibukanya kembali keran impor.
Dilansir oleh tirto.id (11/08/2019), Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita menyatakan keputusan impor ini harus dijalankan apapun konsekuensinya karena dapat memancing respons negara tetangga.
“Tidak ada pilihan lain untuk kita menyesuaikan sesuai rekomendasi dari WTO,” ucap Enggar.
Kekalahan Indonesia oleh Brasil di World Trade Organization (WTO) saat menjalani dispute settlement (penyelesaian sengketa) melawan Brasil terkait importasi ayam di World Trade Organization atau WTO membuat keran impor kembali dibuka.
WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar empat gugatan Brasil mengenai importasi ayam ras beserta turunannya. Empat pelanggaran itu mencakup pelanggaran aturan mengenai kesehatan, pelaporan realisasi mingguan importir, larangan perubahan jumlah produk, serta penundaan penerbitan sertifikat kesehatan.
Paham Neoliberal Membuat Negara tak Berkutik
Sistem kapitalisme liberal yang melahirkan rezim neoliberal membuat negara tak peduli urusan rakyat. Dengan dibukanya kembali keran impor, maka akan menambah daftar panjang serbuan barang impor yang masuk ke dalam negeri.
Padahal hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Padahal gudang bulog kapasitasnya sedang penuh.
Impor gula yang menjadikan Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. Impor Jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019. Impor baja, impor semen, padahal produksinya masih surplus 35 ton per tahun dan berbagai produk impor lainnya. Belum lagi, dari sejumlah kebijakan impor yang dikeluarkan juga kerap bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 9 Agustus 2019 lalu, KPK menangkap 11 orang terkait suap impor bawang putih. (tirto.id, 11/08/2019)
Jika sudah banyak barang yang diimpor jelas merugikan berbagai pihak. Para pengusaha lokal, siap gulung tikar tanda tak mampu bersaing karena barang impor begitu murah. Sedangkan dalam negeri, biaya produksi begitu mahal. Otomatis berdampak pada harga jual barang.
"Impor yang dilakukan "ugal-ugalan" dikhawatirkan membuat pelaku usaha enggan menaikkan kapasitas produksi lantaran produknya dikalahkan barang-barang impor yang membanjiri pasar" terang Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira. (tirto.id, 11/08/2019)
Bagi rakyat yang bekerja di perusahaan lokal, siap mengganggur karena banyak pengusaha yang akan memberhentikan karyawan karena tak mampu lagi membayar gaji karyawan.
Jelas terlihat, rezim begitu ugal-ugalan dalam mengimpor barang. Mereka tak memperhatikan bagaimana keinginan rakyat. Tak peduli dengan dampak akibat kebijakan impor ini. Rezim hanya memperhatikan bagaimana WTO dan organisasi-organisasi lainnya.
Kebijakan impor seperti ini bukti bahwa negara telah terjebak bahkan jadi antek para kapitalis global. Karena di satu sisi, sebagai bagian dari WTO, Indonesia sulit menghindari keputusan WTO tersebut. Di sisi lain, swasembada dan kemandirian pangan menjadi kebutuhan mendesak di tengah kritik terhadap gempuran produk pangan impor. (tempo.id. 07/08/2019)
Kebijakan Impor Dalam Islam
Islam adalah agama sempurna. Mengatur seluruh aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pergaulan, politik termasuk ekonomi. Islam menyelesaikan semua persoalan sampai ke akar-akarnya.
Dalam Islam, kebijakan impor diambil bukan karena pertimbangan organisasi dunia semisal WTO, tetapi kebijakan tersebut diambil jika di dalam negeri sedang membutuhkan komoditas tersebut. Negara tidak akan mengimpor barang jika hal tersebut masih melimpah di dalam negara. Negara mengimpor demi kepentingan rakyat. Jadi, betul-betul negara mengurus dan memperhatikan kebutuhan rakyat.
Islam pun mengatur bagaimana kerja sama dengan negara lain termasuk negara kafir. Islam mengharamkan kerja sama dengan mereka yang sudah jelas memerangi umat Islam. Kepada mereka tidak ada bentuk kerja sama. Kerja sama hanya dilakukan kepada mereka yang tidak memerangi umat Islam, termasuk dalam hal mengimpor.
Dalam Islam, kemandirian suatu negara sangat diutamakan. Hal ini menjaga negara agar tidak didikte oleh negara lain. Kedaulatan suatu negara sangat diperhatikan. Menjadi hal prioritas. Ketika negara bergantung pada negara lain maka di situlah celah negara lain akan mudah mengombang-ambing keutuhan negara, dan mengikuti arahan mereka.
Untuk melihat kedaulatan suatu negara dan kebijakan impor yang diatur sesuai Islam maka hal ini tidak didapatkan dalam pemerintahan hari ini. Sebab, negara hari ini tidak menerapkan Islam secara total.
Kedaulatan dan kebijakan impor suatu negara yang betul-betul murni hanya bisa didapat dalam negara yang mau menerapkan Islam secara total. Negara yang mengikuti metode Rasullulah Saw. Negara ini tiada lain, khilafah ala minhaj nubuwwah.
Saatnya kita beralih kepada sistem pemerintahan Islam. Agar kedaulatan pangan seperti yang diinginkan penguasa saat ini bisa terealisasi.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini