Impor Rektor : SDM Pribumi Dihinakan



Oleh : Dhiyaul Haq 

(Guru di Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah)


Masyarakat kembali terperangah mendengar kabar mengejutkan dari Menristekdikti terkait dengan impor rektor asing. Pasalnya Mantan Rektor Undip itu berdalih agar mutu pendidikan Indonesia tembus ke peringkat dunia. Mengenai perguruan tinggi negeri (PTN) mana yang menjadi sasaran, mantan rektor Universitas Diponegoro Semarang itu masih melakukan pemetaan. Pihaknya akan memilah PTN yang siap dan belum siap. Rencananya, ada dua hingga lima kampus negeri yang dipimpin rektor asing hingga 2024. Lama jabatan mereka empat tahun. (Jawa Pos. Com)

Keputusan Nasir menuai kontra dari berbagai kampus besar lainnya, seperti tertuang dalam Statuta UI, UGM, Unpad, Undip dan Unair. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2013 tentang Statuta Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dikutip detikcom, Minggu (4/8/2019), diatur tegas syarat Rektor haruslah WNI. Pasal 21 menyebutkan anggota Majelis Wali Amanat (MWA) berjumlah 15 orang, salah satunya adalah rektor. Dalam pasal selanjutnya disebut pengurus MWA itu haruslah WNI. Perihal rektor asing membuat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro juga angkat bicara dan menilai wacana rektor asing bisa memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai ironi. Menurutnya, Indonesia harus memperbaiki SDM-nya sendiri. "Itu ironi bagi saya. Kalau Indonesia sampai mengimpor rektor (asing), itu ironi bagi kita tentu dalam konteks dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan jumlah SDM kita sendiri yang memang ini harus dalam proses perbaikan," ujar Siti.

Tak usah heran dan cercengang. Hakikatnya, proyek impor rektor berjalan beriringan dengan program WCU yang digadang-gadang sejak satu windu terakhir untuk melejitkan reputasi kampus. Nasir menegaskan bahwa penerapan rektor asing mencuat kembali berawal dari pertanyaan presiden kepadanya mengenai impor rektor asing. “Presiden sampaikan ke saya jalan terus Pak Menteri, era kita era kompetisi”, ujar Nasir di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat (Minggu, 04 Agustus 2019).

Nasir mengklaim bahwa Negara Asia banyak yang melakukan perekrutan rektor asing dan hasilnya memuaskan. Sehingga langkah ini bisa menjadi contoh bagi Indonesia untuk memajukan dunia pendidikan dan bisa bersaing secara Internasional. Singapura, Taiwan, China, bahkan Arab Saudi, perguruan tingginya dianggap maju karena rektornya dari Amerika dan dosennya 40 persen dari Amerika dan Eropa. Bahkan Nasir menargetkan 2020 ada 2 PTN yang akan dipimpin rektor asing dan mengutamakan profesor dari Amerika Serikat. 

Proyek impor rektor asing ini diduga kuat adalah bagian dari advertising radikalisme, yaitu pengiklanan radikalisme di kampus yang digunakan untuk menangkal pemikiran radikalisme yang tersebar luas di banyak kampus. Radikalisme tersebut tak lain adalah faham yang mengakui bahwa Islam sebagai Ideologi. Dalilnya adalah ketika BNPT pernah merilis 7 dan 10 PTN favorit yang terindikasi radikal. Hal ini menyebabkan semakin menjamurnya Islamophobia di kampus, dan menjauhkan mereka untuk memahami Islam sebagai agama dan ideologi dalam kehidupan. 

Menristekdikti Indonesia, M. Nasir seolah lupa bahwa asing tidak akan datang begitu saja dengan tangan kosong. Selain propaganda “advertising radikalisme”, pun orang asing akan semakin menancapkan pemahaman sekuler di tengah-tengah masyarakat hingga tumbuh subur dan mengakar pada pemikiran masyarakat. 

Proyek impor rektor asing pun juga menjadi kesempatan emas bagi asing untuk memformat dunia pendidikan khususnya di kampus, intelektualitasnya disibukkan dengan pembuatan jurnal internasional seperti Scopus. Sudah bisa dilihat secara kasat mata pendidikan kita semakin digiring menuju sekuler-kapitalis. Kampus adalah “pabrik intelektual” dan pemuda sebagai “pemimpin peradaban”, maka wajar jika asing semakin menyasar kebijakan dunia pendidikan di berbagai negara termasuk Indonesia. 

Inilah fakta pemerintah tidak pro terhadap rakyat. Impor rektor adalah bukti ketidakpercayaan pemerintah terhadap rakyat untuk mengurusi pendidikan di Indonesia. Pemerintah mengakui bahwa asing lebih berkompeten. Lantas bukankah ini seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah, bahwa SDM kita perlu ditingkatkan kualitasnya, dengan memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh SDM untuk membangun pendidikan kita lebih maju?. Bukankah ini bentuk penghinaan terhadap SDM kita? bagaimanakah nasib Profesor dan guru besar di setiap kampus? Lantas sampai kapan kita akan mengekor kepada asing? Sungguh roni bukan?

Jauh berbeda dengan Khilafah. Justru Khilafah adalah negara yang berwibawa tinggi dan tidak bergantung kepada asing maupun aseng. Bagi Khilafah, Pendidikan merupakan sarana yang berpengaruh dan penting bagi manusia, melalui pendidikan manusia bisa belajar mempelajari alam semesta demi mempertahankan hidupnya. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang sangat penting dan tinggi. Khilafah mengerahkan usaha terbaik demi terciptanya SDM yang berkualitas seperti tenaga pengajar dan output yang memuaskan. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak