Impor, Haruskah?




Oleh: Siti Fatonah 


Akhirnya keran impor ayam dari Brasil dibuka oleh pemerintah Indonesia. Setelah pemerintah kalah dalam penyelesaian sengketa melawan Brasil terkait impor ayam di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

Ini semakin menambah panjang daftar impor yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Terlepas alasanya karena terpaksa atau bukan. Mirisnya, tak sedikit barang yang di impor oleh pemerintah itu bukanlah barang yang termasuk langka di negeri ini. Seperti garam, gula, jagung, dan beras. 

Hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih. (tirto.id, 11/08/2019)

Dengan alasan klise menyoal keterbatasan persediaan, sehingga pemerintah perlu untuk mengimpor bahan-bahan tersebut. Tetapi keterbatasan persediaan yang mana yang dimaksud? Saat impor dipaksakan, padahal ketersediaan masih mencukupi. 

Sejatinya, pemerintah adalah pengayom. Pelindung bagi rakyat. Mereka yang duduk di kursi-kursi tinggi tersebut, dipilih rakyat untuk membantu mereka, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah  dan para pelaku UKM-mendapat kehidupan yang jauh lebih baik. 

Sebelum pemerintah (negara) membuat satu keputusan,  haruslah mempertimbangkan dampak apa yang akan ditimbulkan kelak. Jika keputusan tersebut berdampak buruk (merugikan) bagi negara, terlebih rakyat, sudah seharusnya keputusan tersebut tidak dilakukan.

Jika sudah terjadi, hal tersebut harus menjadi bahan evaluasi besar-besaran buat pemerintah, sang penguasa negeri. Mencari tahu dimana letak kesalahannya? dimana letak kekurangannya? sambil terus diperbaiki.  Semisal membuat program edukasi plus memberikan bantuan finansial terhadap pelaku usaha kecil dan menengah agar mampu menghasilkan komoditas yang berkualitas sehingga bisa bersaing di pasar Internasional. Melakukan ekspor yang lebih besar bukan sebaliknya (impor). Selain tentunya untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. 

Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Sudah barang tentu jika terkait impor makanan dan minuman, harus memiliki standar yang jelas halal haramnya. Ini mutlak. Jika tidak memenuhi standar ini, maka negara tidak boleh melakukan impor sama sekali. Kecuali setelah adanya jaminan bahwa makanan tersebut dinyatakan halal oleh badan yang bertanggung  jawab. Dan bukan hanya dalam soal makanan, Islam pun memiliki seperangkat aturan dalam mengatur hajat hidup orang banyak. Salah satunya terkait impor. 

Di dalam Islam, boleh-boleh saja melakukan kerja sama (ekspor-impor) dengan negara manapun. Sekalipun mereka kafir. Selama mereka bukan negara yang secara terang-terangan memusuhi Islam seperti Israel. Selama aturan syariat tetap dijaga. 

Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang diturunkan Allah SWT lengkap dengan seperangkat aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya melulu dalam soal ibadah, tapi Islam pun memiliki aturan dalam bernegara. Tidak ada pemisahan diantara keduanya (sekulerisme). 

Negara menerapkan aturan Islam secara sempurna (khilafah Islamiyah), di pimpin oleh seorang khalifah. Seorang khalifah bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Dan setiap keputusan yang diambil seorang pemimpin (khalifah) tidak lain demi mensejahterakan rakyat seluruhnya tanpa kecuali. 

Negara secara langsung memberikan jaminan kepada setiap individu rakyat dalam hal keamanan, pendidikan dan kesehatan. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’âyah asy-syu’ûn al-ummah) dan kemaslahatan hidup terpenting. Dalam politik ekonomi Islam, negara bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut sehingga seluruh rakyat, Muslim maupun kafir, dapat menikmatinya; baik kaya maupun miskin. (khabarislam.wordpress.com)

Negara harus membuat kemandirian secara ekonomi. Negara akan memaksimalkan mengolah potensi kekayaan alam yang dimiliki. Tidak  bergantung pada negara asing. Menghilangkan segala bentuk campur tangan (intervensi) pihak asing  dalam urusan dalam negeri. Seperti menghentikan kerja sama yang merugikan negara. Menghentikan hutang luar negeri. Memaksimalkan mengolah potensi alam yang dimiliki, terutama yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, tidak boleh dikelola oleh individu (swasta). Kemudian jika melakukan perdagangan dengan luar negeri (ekspor - impor) haruslah memperkuat ekonomi dalam negeri bukan sebaliknya. 

Dan ini bisa didapatkan jika sistem aturan Islam yang dipakai. Impor tak jadi masalah saat memang dibutuhkan selama tidak merugikan negara apalagi mengorbankan hak-hak rakyat. 

Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak