Penulis : Hexa Hidayat,SE
Idul Adha merupakan hari raya bagi umat Islam yang identik dengan ibadah haji dan biasa juga disebut dengan hari raya kurban. Puncak hari raya Idul Adha ini pun ditandai dengan berkumpulnya kaum muslim sedunia di tanah Arofah untuk mengadakan wukuf di Arofah yang bertepatan dengan 9 Dzulhijjah. Kaum muslim seluruh dunia bersatu tunduk dan patuh dalam satu ikatan aqidah. Tidak ada lagi perbedaaan bahasa, ras, kasta, maupun jabatan pada saat berkumpul melaksanakan wukuf. Mereka semua sama, muslim yang sama, dengan aturan yang sama pula yaitu memakai pakaian putih tidak berjahit. Sama-sama mendekatkan diri kepada ALLAH Yang Maha Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah dan memohon ampunan kepada ALLAH SWT.
Selain penandaan wukuf di Arofah, Idul Adha juga ditandai dengan penyembelihan hewan kurban, bagi muslim yang belum mampu menunaikan ibadah haji. Kedua hal diatas merupakan bentuk ketaatan kita kepada ALLAH SWT atas rasa syukur yang telah ALLAH berikan kepada kita.
Melihat sejarah Idul Adha ini maka kita teringat dengan kisah Nabi Ibrahim As, dimana ALLAH SWT menguji beliau diluar nalar manusia. Dikisahkan bahwa pernikahan Nabi Ibrahim dengan istrinya Siti Sarah tidak mendapatkan keturunan, akhirnya sang Istri memberikan kepada Nabi Ibrahim budaknya bernama Siti Hajar untuk dinikahi . Dari pernikahan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar lahirlah seorang anak laki-laki bernama Ismail. Hal ini membuat senang hati mereka. Permohonan mereka akhirnya dikabulkan oleh ALLAH SWT. Tapi, kebahagiaan atas rasa syukur Nabi Ibrahim As, ternyata tidak berlangsung lama. ALLAH SWT memerintahkan Ibrahim pergi membawa Hajar dan Ismail ke Mekkah,lalu meninggalkan keduanya disana sedangkan Ibrahim sendiri kembali ke Syam. Dengan rasa sedih yang mendalam, Ibrahim menghadap ke arah Ka’bah lalu berdo’a untuk mereka dengan mengangkat kedua belah tangannya, “ Ya Tuhan kami sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau ( Baitullah ) yang dihormati. Ya Tuhan kami ( yang demikian itu ) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” ( QS. Ibrahim; 37 ). Sepeninggalan Ibrahim, Siti Hajar hidup berdua saja bersama Ismail dilembah yang tandus, sampai akhirnya persediaan air susu dan air bekal pun habis, Ismail pun meronta-ronta. Maka, Siti Hajar mendatangi bukit shafa dan berdiri menghadap lembah, kemudian beliau melewati lembah tersebut dan sampailah ke bukit marwah dengan tujuan yang sama yaitu ingin melihat apakah ada orang untuk dimintai pertolongan. Beliau melakukan itu sebanyak tujuh kali. Kejadian inilah yang akhirnya dijadikan salah satu rukun haji yaitu sa’i, berlari-lari kecil bolak balik 7 kali antara shafa dan marwah. Karena kegigihan Siti Hajar maka ALLAH SWT perintahkan malaikat Jibril untuk membuat mata air zam-zam untuk sumber kehidupan. Dengan adanya air sebagai sumber kehidupan , maka datanglah orang-orang menetap terutama pedagang-pedagang sehingga makmurlah daerah tersebut, hingga akhirnya lembah tersebut dinamakan Mekkah.
Ternyata ujian Nabi Ibrahim tidak selesai sampai disitu, melalui mimpi Nabi Ibrahim diperintahkan ALLAH SWT untuk menyembelih anaknya yang kala itu berusia 7 tahun. Usia dimana anak-anak sedang lucu-lucunya. Peristiwa tersebut dinyatakan dalam AL Qur’an ( QS As-Saffat ; 102 ) Ibrahim berkata ; “ Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab : Wahai Bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya ALLAH engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. “ Ketika Nabi Ibrahim dan Ismail berpasrah atas perintah ALLAH SWT, maka datanglah iblis menggoda Ibrahim, dengan ketaatan yang penuh maka Ibrahim mengambil batu dan melempar iblis tersebut dengan maksud mengusirnya. Peristiwa Nabi Ibrahim melempar batu inipun dijadikan sebagai rukun haji yaitu melempar jumrah. Dengan rasa tawakal hanya kepada ALLAH SWT, Ibrahim dan Ismail pun mengikhlaskan diri mereka. Karena ketaatan dan keikhlasan mereka lah, maka ALLAH SWT pun mengganti Ismail dengan seekor kambing sebagai korban, peristiwa inipun dinyatakan dalam Al Qur’an ( QS. As-Saffat; 107 ) yang artinya: “ Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar .” Dan semua sejarah tadi merupakan permulaan sunnah berkurban yang dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia.
Untuk membahas ketaatan kita kepada ALLAH selanjutnya, ada tiga hal yang menjadikan simpul besar dalam kehidupan ini yaitu yang pertama dari mana kita berasal, yang kedua untuk apa kita hidup, dan yang ketiga adalah akan kemana kita setelah mati. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut maka diperlukan iman, akal, ilmu dan bukti yang menjadikan dasar ketaatan kita. Yang pertama, darimana kita berasal? Kita berasal dari ALLAH SWT, hal ini disebutkan dalam Al Qur’an dalam surat ( QS. Az-Zariyat; 56 ), yang artinya: “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Lalu, pertanyaan kedua untuk apa kita hidup? Maka kitapun dapat menjawab bahwa segala sesuatu yang diciptakan memiliki tujuan dan aturan-aturan yang bisa dilihat dari Al Qur’an dan hadist, dan segala apa yang ada dalam Al Qur’an berisi tentang aturan hidup manusia, termasuk dalam hal aturan beribadah, ekonomi, budaya, penentuan atas suatu hukuman, bahkan sampai aturan politik. Kemudian, pertanyaan ketiga adalah akan kemana kita setelah mati? Hal ini pun akan mudah kita jawab setelah kedua simpul mulai terbuka, bahwa kita akan kembali kepada ALLAH SWT dan akan menghadapi hari penghisaban sesuai dengan pertanyaan kedua yaitu apa yang kita sudah lakukan di dunia.
Makna yang dapat kita ambil dari penjelasan idul adalah diatas adalah, bagaimana rasa syukur kita kepada Sang Pencipta, tidak menjadikannya sombong dan lupa diri atas nikmat dan karunia yang telah ALLAH SWT berikan. Karena pada hakikatnya manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada ALLAH SWT. Beribadah disini diartikan taat dan patuh kepada perintah ALLAH SWT, menjalankan segala perintahNya dan meninggalkan apa yang telah dilarangNya. Jadi, nikmat yang telah ALLAH berikan haruslah kita syukuri dengan ketaatan penuh kepada ALLAH SWT, karena semuanya berasal dari ALLAH SWT dan akan kembali kepada ALLAH SWT. Maka itu ketaatan dan persatuan pada saat menunaikan ibadah haji hendaklah juga dijaga setelah pelaksanaan Haji selesai, karena seorang muslim memiliki aqidah yang sama dan diikat oleh aturan yang sama pula. Wa’allahualam bisshawabi
Tags
Opini