Hipokrisi Demokrasi



Oleh : Dina Evalina

Aktivis Dakwah


Sekian lama negeri ini telah menganut Sistem Demokrasi. Sistem Demokrasi merupakan suatu sistem yang asasnya diterapkan hampir di seluruh dunia saat ini. Sistem yang menjadikan pemerintahananya dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam sistem demokrasi semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. 

Sistem yang katanya memberikan hak kepada seluruh rakyat dalam menyampaikan segala aspirasinya dengan catatan penyampaian sesuai dengan koridor undang-undang yang ada, faktanya di negeri ini tak berjalan dengan semestinya. Sistem ini lebih ramah terhadap pemahaman ynag telah terbukti merusak negeri, ramah terhadap LGBT beserta para penyebar virus hina tersebut, ramah terhadap paham Liberal yang mengagungkan kebebasan rakyat atas nama HAM, ramah terhadap orang-orang kafir walaupun melanggar undang-undang, yang intinya bersikap manis terhadap pemahana diluar Islam.

Karena sejatinya keramahan tamahan itu tidak berlaku terhadap pemahaman Islam secara menyeluruh bahkan condong represif terhadap ajaran-ajaran Islam. Buktinya Bendera tauhid al-liwa Ar-royah dilambangkan sebagai bendera teroris, bahkan salah seorang Akmil TNI Enzo yang baru-baru ini viral terancam diberhentikan hanya karena ditemukan foto di akun media sosialnya sedang membawa bendera tauhid. 

Tak hanya itu, ajaran Islam lainya seperti Khilafah dalam beberapa tahun terakhir menjadi perbincangan panas di negeri ini, rezim yang memposisikan diri sebagai penentangnya tak henti-hentinya menyebarkan opini negatif tentang Khilafah. Khilafah disebut sebagai pemecah belah bangsa jika ditegakkan di negeri ini, khilafah disebut akan menghncurkan NKRI, tegaknya khilafah disebut akan mengintimidasi kaum kafir, bahkan dianggap sebagai pengkhianat terhadap para pejuang Bangsa. 

Seolah tak puas mengkriminalisasi ajaran Islam, para pendakwahnya pun terlebih para aktivis yang menyuarakan Khilafah terus dipersekusi, dikejar serta dicekal ketika ingin mengisi berbagai kajian. Lantas dimana letak demokrasinya? Bukankah ajaran Islam legal disampaikan di negeri ini?

Belum lama kita telah menyambut hari raya Idhul Adha bagi Umat Islam sontak terdengar berita seperti yang dilansir dalam Portal-islam.id, Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla menyebut akan sangat baik kalau hewan kurban diganti uang cash. "Menurut saya, akan sangat baik kalau hewan korban diganti uang cash, dijadikan semacam 'endowment' untuk biaya pendidikan, misalnya," kata Ulil di akun Twitternya. 

Kicauan Ulil ini ditanggapi alumni Al-Azhar Mesir Hasmi Bakhtiar, menurutnya memotong hewan qurban itu sifatnya "ta'abbudiyah", tidak bisa diganti dengan sodaqoh mal. Sama seperti jumlah rakaat dalam shalat atau berwudhu setelah kentut, anggota badan yang mengeluarkan angin justru malah ga ikut dibasuh. 

Pernyataan Ulil tersebut menyakiti hati kaum muslimin karena mengusik ajaran Islam yang telah sempurna Allah turunkan kepada umat Islam. Umat Islam hanya diperintahkan untuk menjalankan seluruh perintah-Nya dengan cara dan jalan yang juga sesuai dengan Ajaran Islam serta menjauhi segala larangan-Nya bukan untuk mengubah sesuatu yang telah pasti dan jelas dicontohkan dalam Islam. 

Namun, berpendapat demikian seeprti yang disampaikan Ulil di alam demokrasi dianggap sah saja. Inilah hipokrisi demokrasi, karena sejatinya sistem ini tak akan memberi jalan terhadap Islam untuk mengambil posisi, dan menjadi hal yang lumrah mengkhianati undang-undang yang telah dibuat dalam mengatur sebuah negeri. 

Maka selayaknya bagi kaum muslimin untuk terus menyuarakan Islam kaffah, menyampaikan kepada umat bahwa Islam itu agama yang sempurna dan penuh berkah. Memberikan Rahmat bagi seluruh alam. Dan menjadi solusi atas permasalahan yang melanda negeri ini.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak