Oleh: Rindoe Arrayah
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memvonis Neil Bantleman hukuman penjara selama 10 tahun pada April 2015. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan terdakwa tersebut pada Agustus 2015.
Atas putusan banding tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke MA dan akhirnya majelis kasasi menambah hukumannya menjadi 11 tahun penjara.
Neil bebas pada 21 Juni 2019. Ia dibebaskan setelah Presiden Joko Widodi menerbitkan grasi dalam Keputusan Presiden RI Nomor 13/G tahun 2019 bertanggal 19 Juni 2019.
Kepres tersebut memutuskan pengurangan pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp 100 juta pada Neil.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan kebijakan Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada warga Kanada, Neil Bantleman, terpidana kasus pelecehan seksual siswa Jakarta International School kini Jakarta Intercultural School (JIS).
Anggota KPAI, Putu Elvina mengatakan grasi Jokowi menjadi lembaran hitam terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia. Putu menyebut kasus pelecehan seksual siswa JIS itu menjadi komitmen pemerintah memberi perlindungan kepada anak-anak.
"ini masih menjadi lembaran hitam upaya perlindungan anak," kata Putu saat dikonfirmasi CNN Indonesia.com, Jumat (12/7/19).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan langkah Presiden RI Joko Widodo menerbitkan grasi kepada Neil Bantleman, eks guru pelaku kekerasan seksual terhadap murid di Jakarta International School (JIS).
"Pemberian grasi pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak sesuai dengan komitmen yang harus kita bangun bersama. Kita harap kemudian hari tidak terjadi lagi grasi semacam itu," ungkap Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/7/19) malam.
Edwin menilai, langkah Jokowi mencoreng komitmen negara dalam perlindungan terhadap anak.
"Ini kan kebijakan nasional
Negara sebenarnya menjamin agar anak-anak Indonesia semua terlindungi," ujarnya.
Pelaku ini telah menciptakan kerusakan yang cukup besar pada korban, yaitu kemunduran otak, depresi, banyak luka permanen yang ditimbulkan. Tidak hanya itu saja efek negatifnya, pelaku telah menanamkan trauma buruk berkepanjangah pada diri anak.
Nampak, betapa negara abai akan perlindungan atas rakyatnya, terkhusus dalam kasus ini adalah anak-anak.
Harus ada solusi tuntas dalam menyelesaikan permasalahan ini. Solusi yang diberikan haruslah mencegah, menghentikan pelaku sekaligus menyelesaikan permasalahan penyimpangan seksual yang sedang mendera negeri ini.
Islam, sebagai agama paripurna dan sempurna telah memiliki solusi pasti dalam menuntaskan masalah ini.
Pertama, negara bertanggung jawab dalam membina keimanan rakyatnya. Mengingat, keimanan adalah benteng pertama yang bisa menghindarkan atas semua penyakit kemaksiatan.
Kedua, secara sistemik negara yang memiliki kuasa harus turut andil untuk menghilangkan pornografi dan pornoaksi yang melibatkan media cetak maupun elektronik.
Ketiga, pengadilan dalam pemerintahan Islam menerapkan hukuman sesuai hukum syara'. Hal ini akan memunculkan efek jera dan pencegah bagi kejahatan yang serupa.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (liwat), maka hukum matilah baik yang melakukan maupun yang diperlakukannya."
(HR. Al-Khomsah kecuali an-Nasa'i)
Tentunya, jika hukum ini diterapkan maka tidak ada celah lagi bagi pelaku untuk melakukan perbuatan nista ini. Bagi masyarakat secara keseluruan bisa dijadikan sebagai pelajaran untuk tidak melakukan akifitas kemaksiatan.
Wallahu 'alam bish shawab