Oleh Rahmi Rahmawati, S.TP.
(Ibu rumah tanggga, Aktivis dakwah Tinggal di Rancaekek Kab. Bandung)
Kini industri film dalam negeri semakin menggeliat. Puluhan cerita yang sudah memiliki jutaan pembaca pun menggairahkan rumah produksi untuk diangkat ke layar lebar. Bak jamur di musim hujan, film-film remaja pun tidak ketinggalan disuguhkan.
Para penonton diharapkan menyesuaikan jenis tontonan dengan usianya. Alasannya sederhana, agar konten-konten yang tidak pantas dilihat oleh usia tertentu tidak dapat ikut ternikmati oleh yang belum tepat saatnya. Sehingga idealnya anak remaja tidak patut untuk menonton film-film dewasa dengan label 17+ misalnya. Jika anak remaja tersebut memiliki kreatifitas tinggi, tentu himbauan seperti itu menjadi angin lalu saja.
Baru-baru ini publik khususnya orangtua mengalami keresahan karena film remaja yang berjudul sangat menarik akan dipertontonkan di bioskop-bioskop. Yang hendak disampaikan dalam film tersebut mengenai efek buruk pacaran yang kebablasan, pernikahan dini dan kehamilan yang tidak diinginkan dan cenderung berisiko karena terjadi pada remaja. Setidaknya itu yang tertangkap dari trailer.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, tentu remaja yang menjadi sasaran penjualan tiket film ini keberatan jika penayangan film ini dibatalkan. Mereka akan kecewa jika ada petisi menolak penayangan film ini di bioskop-bioskop. Kekecewaan yang sama seperti gagalnya grup nyanyi asal Korea Selatan idola mereka manggung di Indonesia. Publik berhasil menggalang dukungan untuk menggagalkan rencana show grup nyanyi tersebut.
Beberapa pengamat menjelaskan bahwa bacaan dan tontonan (baik film maupun tayangan televisi) ikut berpengaruh terhadap perkembangan moral remaja. Di mana masa remaja adalah masa pergolakan emosi dan pertumbuhan fisik yang sangat cepat. Masa remaja juga adalah masa pencarian jati diri. Pergolakan emosi yang dialami remaja dipengaruhi kuat pula oleh faktor lingkungan. Terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel seperti peran antagonis, judul film, aktor dan aktris, adegan mesra, adegan kekerasan dan isi film/cerita mempunyai pengaruh yang sidnifikan terhadap perkembangan moral remaja (Carmia Diahloka. 2012).
Jika sebagian orang mengklaim bahwa ada pesan moral yang dibawa film, harus dipikirkan pula jika isi film dan adegan-adegan yang mungkin tidak patut dipertontonkan menjadi yang paling dominan membekas di pikiran sadar dan bahkan di pikiran bawah sadar remaja. Jika terlihat ada manfaatnya, sudah semestinya kita juga meninjau apakah mudharatnya juga ada? Atau bahkan lebih besar mudharatnya dibanding manfaatnya untuk masyarakat?
Wajar jika dalam tatanan hidup liberal seperti sekarang, selama mendatangkan pundi-pundi rupiah karena akan banyak peminatnya, pembuatan film-film yang bahkan bersifat destruktif terhadap moral generasi tetap saja laku digarap. Kualitas generasi adalah tanggung jawab bersama. Mulai dari remaja itu sendiri, orangtua, masyarakat, serta regulasi dari pemerintah. Gaya hidup sekuleristis (memisahkan agama dari kehidupan) menjadi akar kerusakan kualitas generasi.
Sudah sepatutnya masyarakat mengerti bahwa yang dilarang dalam Islam bukan hanya pacaran yang kelewat batas, melainkan pacaran itu sendiri. Serta bahwa yang dilarang dalam Islam bukan hanya berdua-duaan (khalwat) di dalam kamar melainkan segala jenis berdua-duaan antar lawan jenis kecuali disertai mahramnya. Serta bahwa yang dilarang dalam Islam bukan hanya berhubungan suami-istri di luar ikatan pernikahan (zina), melainkan mendekati zina itu sendiri. "Dan janganlah kamu mendekati zina" (TQS. Al Isra:32 ).
Sudah sepatutnya film-film yang dibuat dan ditayangkan jangan dijadikan pemulus arus liberalisasi yang makin merusak generasi. Hal ini akan jauh berbeda jika sistem kehidupan Islam diterapkan dalam masyarakat. Film dan segala jenis media ada untuk kepentingan dakwah dan edukasi, bukan untuk memuluskan arus liberalisasi. Dalam Islam, negara punya peran utama dalam pengendalian produksi film.
Tags
Opini