Oleh: Nor Aniyah, S.Pd*
Dua Garis Biru sempat menjadi film yang ramai dibicarakan. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN mengatakan bahwa film tersebut bisa menjadi edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja yang menontonnya. Film ini dianggap jadi media untuk menyebarkan kesadaran tentang perilaku berisiko remaja yang menjadikannya rentan mengalami pernikahan di usia dini, kehamilan tidak diinginkan dan terinfeksi penyakit menular seksual hingga aborsi tidak aman (antaranews.com, 11/07/2019).
Padahal, film ini sempat menuai protes dari beberapa pihak pasca dirilisnya teaser trailer 1 bulan yang lalu sebegai bentuk promosi. Salah satunya adalah petisi yang digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org. Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampaui batas.
“Beberapa scene di trailer menunjukkan proses pacaran sepasang remaja yang melampaui batas, terlebih ketika menunjukkan adegan berduaan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka. Scene tersebut tentu tidak layak dipertontonkan pada generasi muda, penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton,” isi di dalam petisi tersebut (m.detik.com).
Cukup mencengangkan ketika mengetahui bahwa film ini dianggap sebagai sarana untuk edukasi seks. Sementara, edukasi seks yang telah dilakukan saat ini tidak memberikan efek berarti untuk mencegah peningkatan seks bebas di kalangan remaja. Bahkan, seks bebas justru semakin merebak di kalangan remaja kita, dan kini mengkhawatirkan.
Sistem liberal yang mengagungkan kebebasan telah mewarnai kehidupan. Sehingga dalam pembuatan film pun mesti bernilai bisnis yang menguntungkan. Selama ada yang berminat dan menjanjikan keuntungan film akan dibuat karena alasan menjual. Sehingga, rezim saat ini sekalipun tidak berdaya mengendalikan arus liberalisasi yang menghancurkan generasi melalui film.
Sebenarnya dari sisi sosial budaya, film cukup efektif sebagai media penyampai pesan-pesan dan nilai-nilai. Sayangnya, film-film yang tayang kebanyakan sarat dengan nilai-nilai liberal yang berkiblat kepada budaya barat. Seperti pacaran atau pergaulan bebas, mempertontonkan aurat, dan lain-lain. Nampak nyata bahwa dalam film ini, sudut pandang agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai perbuatan. Padahal, dalam pandangan Islam perbuatan pacaran dan seks bebas adalah perzinaan yang merupakan dosa besar dan ada sanksi keras bagi pelakunya.
Allah SWT berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allâh dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS. An-Nur [24]: 2).
Oleh karena itu, sangat disayangkan film semacam ini diizinkan tayang oleh penguasa padahal menuai pro kontra di tengah masyarakat. Lebih ironis lagi, film yang secara implisit mengandung seruan untuk menghalalkan pacaran justru mendapatkan apresiasi dari lembaga pemerintah dan terus dipromosikan agar semakin banyak remaja yang menonton karena film ini sebab dianggap memuat unsur pendidikan seks.
Kondisi kerusakan generasi muda saat ini tentu harus menjadi perhatian yang serius bagi kita semua, baik itu orang tua, masyarakat maupun negara. Kalaulah memang ingin mendidik generasi muda menjauhi gaul bebas, tidaklah seperti caranya. Seharusnya dikenalkan pada mereka adalah penjagaan akidah dan penanaman keterikatan hukum syara’. Karena imanlah yang menjadi benteng penghalang dari kemaksiatan, termasuk dalam tontonan atau film.
Film dalam sistem Islam dalam rangka dakwah dan edukasi bagi rakyat dan negara punya peran utama dalam mengendalikan produksi film. Media massa di dalam sistem Islam akan menyelaraskan pembinaan generasi sesuai dengan tujuannya. Berisi konten yang mendidik, berisi hal-hal yang bisa meningkatkan ketakwaan dan memberikan gambaran kepada masyarakat bagaimana kehidupan bernegara yang baik dan lain sebagainya.
Film adalah bagian dari seni dan budaya yang juga diatur dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah the way of life yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk soal film. Dalam kitab Masyrû Qânûn Wasâil al-Ilâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah) (2003) Syaikh Ghazzal menjelaskan pengaturan seni peran (drama), film, musik dan nyanyian dan lawak (tasliyah). Seni peran bagi Syaikh Ghazzal boleh dalam Islam dengan sejumlah syarat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan aturan Islam, film akan menjadi alat untuk memelihara identitas keislaman masyarakat, menyampaikan dakwah dan pesan-pesan Islam, tanpa meninggalkan unsur hiburan yang sehat dan syar'i.
Negara Khilafah bertanggung jawab mewujudkan lingkungan yang baik (al-biah as-shalihah) bagi generasi muda umat Islam. Negara akan melakukan pengaturan dan pengawasan media massa seperti koran, majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk juga sarana hiburan seperti film dan pertunjukan, dan berbagai jaringan media sosial lainnya. Tujuan pengawasan ini agar semua sarana itu tidak menjadi sarana penyebarluasan dan pembentukan opini umum yang merusak pola pikir dan pola sikap generasi muda Islam (Ziyad Ghazal, Masyru Qanun Wasail al-Ilam fi ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 6-7).
Penerapan sistem Islam akan melahirkan generasi muda yang kokoh iman, punya integritas, pola pikir dan sikap sesuai ajaran Islam, punya ilmu dan keterampilan untuk kemajuan masyarakat. Sistem pergaulan sosial dalam Islam akan mampu menjaga kesucian generasi kita, terhindar dari pergaulan yang tidak syar'i. Maka, jika ingin menyelamatkan generasi perlu solusi fundamental, yakni penerapan sistem Islam yang membuat manusia senantiasa tunduk pada agama oleh negara.[]
*) Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.