Oleh Yani Riyani (Ibu Rumah Tangga)
Memakai pakaian brand (bermerk) bagi sebagian orang merupakan suatu kebanggaan dan tuntutan untuk tampil glamour apalagi dengan harga yang mahal.
Gaya fashionista membuat pabrik-pabrik pakaian, tekstil, kapas dan turunannya harus bekerja lebih cepat atau fast fashion karena untuk memenuhi pasaran ready to wear apalagi bagi negara-negara yang memiliki 4 musim, pakaian harus diproduksi sesuai musim oleh pabrik-pabrik pakaian tanpa mengenal waktu. Akan tetapi para fashionista tidak menyadari kepedihan di balik penampilannya untuk selalu mengikuti tren mode agar tidak ketinggalan zaman, akibat dari semua ini pabrik pakaian menggenjot terus menerus memproduksi mengejar posisi trend setter di tengah-tengah persaingan ketat antar brand atau merk pakaian.
Kebutuhan yang besarakan tenaga kerja di industri pakaian ini menyebabkan adanya kerja paksa dibeberapa negara seperti muslim ulghur yang disinyalir dikerjapaksakan di industri fesyen cina, india, bangladesh bahkan memperkerjakan anak-anak dengan gaji rendah.
Contohnya anak gadis yang bernama Bithi dari usia 12 tahun dia sudah bekerja di pabrik pakaian dan dia harus menjahit 60 kantong celana per jam. Demikianlah derita dan air mata dibalik keindahan model-model busana yang dipajang di gerai-gerai fesyen dunia. Pakaian tersebut dihasilkan dari tangan-tangan dan keringat dan air mata anak-anak juga perempuan-perempuan buruh kerja paksa, bertolak belakang dengan glamournya penampilan para fashionista yang dengan entengnya menghamburkan uang untuk membayar mahal sebuah penampilan.
Ironis sekali.
Islam tidak mengharamkan industri fesyen sebab pakaian adalah kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara, setiap individu harus punya industri fesyen dimaksudkan untuk memudahkan umat islam dalam mendapatkan busana-busana syar'i berkwalitas dan nyaman. Namun islam tidak mengenal trend mode sebab filosofi dasar pakaian dalam islam adalah sebagai bentuk ketundukkan pada Allah Swt, yaitu untuk menutup aurat. Penampilan umat islam itu bersahaja. Penampilan yang adaptif dalam setiap suasana, sehingga tidak dibutuhkan banyak-banyak koleksi busana, tidak butuh fast fashion cukup slow fashion, kalau sudah tak layak baru ganti, kalau sudah bosan sumbangkan sebelum rusak baru beli baru, begitulah harusnya budaya dalam berbusana bukan tuntutan agar selalu glamour ala fashionista. Kelak peradaban Islamlah penyelamat para wanita, baik para fashionista maupun pekerja seperti Bithi dari tembok derita dan air mata fesyen dunia.
Walahulam bi showab
Tags
Opini