Oleh : Nanis Nursyifa (Pemerhati Masalah Sosial)
Satu hari jelang lebaran Idul Adha, harga pangan di pasar tradisional merangkak naik, diantaranya cabai. Sebetulnya sudah dari beberapa minggu sebelumnya harga pangan merangkak naik, hanya saja kenaikan yang signifikan mulai terlihat menjelang lebaran.
Kenaikan harga mencapai 150%, dari harga semula 30.000ribu terus mengalami kenaikan hingga sekarang 75.000/kg.
Meskipun demikian, kenaikan harga pangan ini tidak mempengaruhi minat para pembeli, mungkin dikarenakan cabai merupakan kebutuhan yang biasa di pakai sehari-hari, jadi mau tidak mau orang tetap harus membelinya meskipun dengan harga yang tidak merakyat.
Kejadian seperti ini masih akan terus berulang dikarenakan pasar dikuasai kartel swasta kapitalis. Mereka yang mengendalikan pasar dengan tujuan meraih keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya banyak pihak-pihak yang dirugikan, diantaranya petani, pembeli, juga penjual semua kena imbasnya.
Sistem kapitalis yang saat ini menjerat negara kita Indonesia merupakan sistem ekonomi yang secara jelas ditandai dengan berkuasanya "KAPITAL".
Sistem kapitalis memiliki ciri utama yaitu tidak adanya perencanaan dalam hal ekonomi sentral. Harga pasar yang dijadikan keputusan dan ketetapan serta perhitungan unit yang diproduksi pada umumnya tidak ditentukan oleh pemerintah dalam kondisi yang siap bersaing. Semua itu hasil dari kekuatan pasar itu sendiri. Dengan tanpa adanya perencanaan terpusat itu, maka telah memberikan banyak kebebasan dan kekuasaan yang mutlak untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Bahkan sistem kapitalis ini memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya untuk para konglomerat dengan biaya yang cukup besar untuk mengalihkan semua sumber daya nasional untuk direproduksi dan mengimpor barang-barang mewah yang pada umumnya bukan merupakan kebutuhan dasar masyarakat.
Problem Pangan
Masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan di sisi lain bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi. Hampir setiap tahun, kita disibukkan dengan pro-kontra impor bahan pangan, mulai dari beras, daging sapi, cabai, hingga bawang merah.
Ada banyak persoalan yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya, data yang digunakan untuk membuat kebijakan yang bersumber dari instansi resmi negara seringkali tidak sinkron satu sama lain. Apalagi pada tataran perumusan dan eksekusi kebijakannya di lapangan.
Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul SAW bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand, bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir, Amru bin al–‘Ash, tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Wallahu ‘alam.