Oleh: Eva Farida S.Pd
(IRT dan Pemerhati Urusan Masyarakat)
Apa yang ada dibenak kita jika mendengar kata pajak? Bahagia, kesal atau biasa-biasa saja yang anda rasakan? Tentunya perasaan tersebut tidak lepas dari apa yang anda pikirkan tentang pajak itu sendiri. Bisa jadi kita berpikir bahwa tidak masalah dengan adanya pajak, karena itu juga bagian dari kewajiban kita sebagai warga negara. Namun bagaimana jika posisi anda adalah seorang artis papan atas yang mempunyai mobil mewah berderet-deret, yang setiap tahun harus membayar pajak sedemikian besarnya, adakah perasaan bahagia dan ikhlas saat membayarnya? Begitu juga bagaimana jika anda adalah seorang kepala rumah tangga dengan gaji 5 juta perbulan dengan begitu banyak tanggungan anak sekolah, anda diminta untuk menyetorkan pajak? Senangkah, ridhokah, terbebanikah? Apalagi dalam kondisi berbagai kebutuhan serba naik.
Beginilah konsekuensi yang harus diterima oleh warga negara yang mengambil sistem ekonomi neo liberalisme ini sebagai acuannya, yang menjadikan 80 persen lebih pemasukan negara dari sektor pajak, yakni 1.781 T dari 2.145 T target pendapatan negara di APBN 2019 dan sebagian lagi dari hutang luar negeri. (kemenkeu.go.id, rapbn2019). Maka setiap individu yang pendapatannya pertahun diatas 54 juta suka tidak suka maka tetap harus menyetorkan data kekayaan, agar diketahui berapa jumlah pajak yang harus disetorkan. Mau disembunyikan aset hartanya? Jangan pernah coba-coba, karena dimanapun disimpan pasti akan terdeteksi sebagaimana pernyataan berikut dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memperingatkan wajib pajak bahwa mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajibannya. Ditjen Pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan. Oleh karena itu, saat ini bagi pemilik harta banyak akan sulit menyembunyikan hartanya demi menghindari pajak. Kalau mau ya gali aja sumur di belakang rumah taruh duitnya di situ. Oh masih ada yang seperti itu? nanti saya pakai drone cari di situ," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Kebijakan ini tidaklah mengherankan, karena sistem ekonomi neo liberal mengharuskan pajak sebagai salah satu sumber terbesar pendapatan bagi negara. Ditambah lagi dengan adanya kemajuan teknologi di dunia maya, maka bagaimana caranya agar teknis pembayaran pajak ini bisa lebih mudah sebagaimana pernyataan berikut: ”Demi mendorong kesadaran wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan berbagai cara. Termasuk mengeluarkan tagline bayar pajak semudah isi pulsa. Tagline itu ternyata ide dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrwati. (detik.com,2/08/2019).
Demikianlah faktanya dan mari pikirkan sejenak, bagaimana menurut anda jika sebuah keluarga membangun pendapatan utamanya dari hutang dan pungutan kepada anggota keluarganya sendiri dengan paksaan? Sehat dan normalkah kondisi demikian? Dan dalam skupe negara, ini sudah berlangsung begitu lama pada negeri kita tercinta ini.
Meski begitu dalam menghadapi fakta ini, bisa jadi bermacam macam cara berfikir setiap individu tentang pajak ini, sehingga tidak bisa tidak, harus ada patokan yang baku tentang bagaimana kedudukan pajak ini agar mendapat penilaian yang benar. Penilaian yang benar akan menentukan sikap yang benar terhadap persoalan ini, baik kedudukan kita sebagai individu, masyarakat dan penguasa. Karena pengurusan yang terkait dengan pajak ini juga kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dan ini meniscayakan suatu patokan yang baku kebenarannya sampai hari kiamat, tiada lain adalah dengan menyandarkannya kepada Islam. Yang datangnya dari penguasa alam semesta, Allah SWT dan pastilah dapat memberikan solusi terbaik atas persoalan ini.
Mari kita lihat bagaimana pandangan Islam tentang pajak yang dipaparkan oleh KH.Hafidz Abdurrahman (Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak, Tabloid Media Umat Edisi 164). Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].
Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal kaum muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitul mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Dari paragraf sebelumnya telah diterangkan sumber pendapatan negara yang bersifat tetap. Adapun pajak dalam hal ini termasuk sumber pendapatan negara yang sifatnya tidak tetap. Karena sifatnya adalah sebagai salah satu solusi yang diambil, ketika dana di baitul mal dalam keadaan benar-benar kosong. Itupun pajak hanya boleh dipungut kepada orang orang muslim yang mampu saja, yang mempunyai kelebihan dana, sedangkan yang tidak, maka tidak akan dipungut pajak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang dijelaskan dalam artikel KH.Hafidz Abdurrahman (Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak, Tabloid Media Umat Edisi 164) yakni, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’[un] fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) [HR Muslim dari Jabir]
Adapun pajak dipungut untuk membiayai sejumlah kewajiban dan pos yang telah ditentukan oleh syara’ dengan ada atau tidaknya dana di baitul mal. Dimana jika beberapa kewajiban dan pos ini yang jika tidak didanai akan menyebabkan dharar terhadap kepentingan kaum muslimin. Salah satunya adalah biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum muslim.
Karena sifatnya insidental maka, pungutan pajak ini tidak akan diambil lagi ketika Dana di baitul mal terisi kembali, yang pada dasarnya memang menjadi kewajiban penguasa dan aparatnya untuk mengupayakan ketersediaan dana dalam baitul mal. Pemungutan pajak juga bukan untuk menambah pendapatan negara, sehingga akhirnya boleh memungut pajak dari kepemilikan barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli dan macam-macam pajak lainnya seperti yang terjadi saat ini. Ketersediaan dana inipun harus diikhtiarkan oleh penguasa untuk membiayai pos-pos yang telah ditetapkan syara' saja dan dengan cara yang diridhoi Rabb, Sang Pencipta Alam Semesta, sebagaimana yang telah diterangkan di paragraf atas tentang sumber pendapatan Negara. Salah satunya adalah dari Pengelolaan sumber daya alam yang hanya boleh dikelola oleh negara dan manfaatnya untuk kemaslahatan umat.
Namun saat ini kondisinya di Negeri kita tercinta ini 80 persen sumber daya alam telah dikuasai oleh asing. Inilah yang tidak boleh dibiarkan karena menyalahi apa yang ditetapkan oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Al-muslimûna syurakâ`un fî tsalâtsin: fî al-kalâ`i wa al-mâ`i wa an-nâri”
Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Imam as-Sarakhsyi di dalam al-Mabsûth menjelaskan hadits-hadits di atas dengan mengatakan, bahwa di dalam hadits-hadits ini terdapat penetapan berserikatnya manusia baik muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu. Demikian juga penafsiran syirkah (perserikatan) dalam air yang mengalir di lembah, sungai besar seperti Sihun-Jihun (Amu Darya-Syr Darya), Eufrat, Tigris dan Nil, maka pemanfaatan air itu posisinya seperti pemanfaatan matahari dan udara di mana muslim maupun non muslim sama saja dalam hal ini. Dan tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Ini seperti pemanfaatan jalan umum dari sisi berjalan di jalan itu. Dan maksud lafazh syirkah bayna an-nâs (berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok ibahah (kebolehan) dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam pemanfaatan (ketiganya) hanya saja ketiga barang itu dimiliki oleh mereka (bersama-sama). Maka air di lembah itu bukan milik seseorang. Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang sebagaimana yang dijelaskan oleh Yahya Abdurrrahman (Tabloid Media Umat Edisi 223,17/08/2018)
Sehingga yang menjadi PR bersama kemudian adalah bagaimana membuka kesadaran masyarakat dan menjadi rindu hidup seperti masa Rasulullah SAW dan Para Khulafaur Rasyidin yang mulia. Karena hanya dengan kepemimpinan yang amanah dan sistem yang layak lah pengelolaan sumber daya alam tersebut dapat memberikan manfaat maksimal kepada kaum muslimin. Itulah kepemimpinan terbaik yang pernah ada di sepanjang kehidupan manusia. Yang menjaga hak hak manusia, muslim maupun non muslim, mereka hidup tentram dan layak didalamnya selama belasan abad. Bahkan harta mereka juga dijaga, dan jika mereka menyerahkan itu adalah dengan kerelaan dan dengan perjanjian yang telah disepakati, tidak asal main potong gaji ataupun pada saat transaksi jual beli ditempat umum yang menyertakan tambahan biaya sebagai pajak yang ditetapkan oleh penguasa.
Demikianlah pandangan Islam mengenai masalah pajak dan juga solusinya. Pandangan ini tidak hanya sekedar cukup dibahas saja, melainkan ada konsekuensi pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT di akhirat kelak. Karena Islam tidak hanya mengatur ibadah dalam hal hubungan manusia dengan Allah SWT saja, melainkan juga mengatur ibadah yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya atau muamalat. Khususnya dalam hal ini tanggung jawab seorang penguasa kepada rakyatnya, dalam hal mengurusi segala kepentingan masyarakat agar bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Mungkinkah hal ini dapat terwujud dengan menerapkan aturan yang tidak layak (sebuah aturan Neo-liberalisme ekonomi kapitalis) yang sumbernya dari pemikiran manusia yang semakin hari semakin menyengsarakan manusia? []
Tags
Opini