Oleh : Annisa Dinda Apriansyah
Menristekdikti Mohamad Nasir membolehkan kampus membahas ajaran marxisme dan khilafah. Namun, sebelumnya Mohamad Nasir memberikan pernyataan, bahwa paham marxisme dan LGBT juga boleh dikaji oleh dosen dan mahasiswa. Hal tersebut tentunya menuai protes, sebab melarang mendiskusikan khilafah tetapi mengizinkan perkara batil seperti marxisme dan LGBT. Meski pada akhirnya khilafah diizinkan dikaji oleh dosen dan mahasiswa, Moh. Nasir memperingatkan untuk tidak membahas hal tersebut di luar kampus. (Tirto.id. 26/07/19)
Tak cukup sampai di sana, rupanya Nasir meminta untuk mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa. Ia mengatakan hal tersebut dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi agar tidak terpapar radikalisme dan intoleransi. Sebagai seorang muslim seharusnya kita meyakini bahwa satu-satunya paham dan ideologi yang sahih hanya islam. Maka rasanya tidak perlu jika harus sampai memahami ideologi yang justru malah bertentangan dengan Islam itu sendiri, apalagi jika sampai menyebarluaskannya.
Mempelajari khilafah sebagai sistem Islam menjadi keharusan bagi seluruh umat muslim dan mestinya kampus menjadi tempat sekaligus memberikan sarana para mahasiswa yang katanya agen of change untuk mempelajarinya. Meski diperbolehkan untuk mendiskusikannya, rupanya tetap harus dalam batasan untuk tidak menyebarluaskan. Ditambah adanya pendataan nomor kontak dan media sosial merupakan upaya untu mempersempit gerak mahasiswa mengutaraka idealismenya.
Semua itu tentunya tak lepas dari upaya deradikalisasi saat isu radikal yang banyak muncul dari kampus. Pemerintah berupaya untuk menetralisir paham yang dianggap radikal dan bertentangan dengan pancasila. Tentunya yang dimaksud adalah kampus, mahasiswa, dan Lembaga Dakwah Kampus yang setuju dan bahkan mendakwahkan ajaran islam termasuk khilafah.
Hal ini menjadi bentuk ketakutan akan paham radikal yang akan melahirkan terorisme. Kekhawatiran ini pun disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, menurutnya penyebaran paham radikal terorime sudah mulai sistemik dan sangat mengkhawatirkan. Bahkan penyebaran tersebut sudah terlihat sistemik dengan masuk ke instansi-instansi pendidikan termasuk ke perguruan tinggi. Hal tersebut tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi para rektor perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia. (Beritasatu.com. 07/05/2017)
Sementara kebolehan mendiskusikan paham marxisme dengan tujuan untuk mempelajarinya, hanya sebatas melarang dalam bentuk lisan saja, berbeda dengan perlakuan kepada mahasiswa dan Lembaga Dakwah Kampus yang dianggap terpapar paham radikalisme.
Padahal hukum asal untuk mempelajari paham marxisme dan LGBT tentunya haram, karena dapat merusak aqidah umat, terlebih ada pernyataan kebolehan untuk mendiskusikannya, tanpa adanya upaya yang jelas agar paham tersebut dapat dicegah. Kemungkinan besar pemahaman tersebut akan bebas lepas menyebar dil ingkungan kampus, bahkan di lingkungan masyarakat, sehingga meracuni akidah dan pemikiran umat.
Jelaslah, bahwa rezim sekular yang berkuasa telah terjangkit islamphobia, takut bahkan anti dengan ajaran agamanya sendiri. Ketakutan tersebut tentunya tak berlasan, sehingga mereka seperti kehilangan akal sehatnya, giat menghalangi dakwah Islam tetapi begitu terbuka pada pemahaman yang jelas bertentangan dengan Islam. Padahal kita tahu, tak sedikit dari pemerintah itu sendiri beragama Islam.
Jika kita benar-benar belajar dan memahami arti syahadat yang sesungguhnya. Mengaku dan menjadikan khilafah satu-satunya sistem dengan berlandaskan ideologi Islam itu sendiri merupakan konsekuensi dan implementasi pengakuan sebagai seorang muslim. Khilafah sendiri adalah Imamah, karena Imamah dan Khilafah, konotasinya sama. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H).
إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ…
Para Imam Mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/416).
Oleh karena itu, keliru bila ada yang mengatakan bahwa ide khilafah akan menghasilkan dan melahirkan paham teroris. Sebab dalam kamus Islam tak pernah ada istilah teroris, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan arti Islam itu sendiri. Justru perbuatan-perbuatan yang menjurus pada terorisme yang sesungguhnya pernah terjadi di Norwegia. Yaitu terjadinya penembakan masal di Masjid Pusat Dakwah Islam Al-Noor, tapi sayangnya dunia kelu untuk mengatakan bahwa itu aksi terorisme.
Dalam sistem Khilafah hal tersebut tentunya tak akan dibiarkan. Termasuk pemahaman ajaran islam, akan kuatkan guna meningkatkan ketaqwaan. Sedangkan pemahaman-pemahaman dan ideologi yang bertentangan dengan islam tidak akan dibiarkan berkembang karena merusak aqidah dan pemikiran umat.
Namun yang terjadi hari ini malah sebaliknya, saat aqidah umat semakin melamah, islam tidak dijadikan sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan, ditambah lagi pemahaman yang bertentangan dengan Islam dengan bebas diberi ruang. Hasilnya adalah kebobrokan umat. Begitulah sistem sekular, memisahkan agama dari kehidupan. Menjauhkannya agar Islam tak mengatur kehidupan.
Kehidupan sekuler tidak akan mungkin menciptakan masyarakat bertaqwa, berbeda dengan sistem islam yakni khilafah akan menciptakan masyarakat bertaqwa serta keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana dalam firman Allah:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkahdari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(TQS. Al-A’raf : 96)
Oleh karena itu, menjadi pengemban ide khilafah tentunya tak cukup jika hanya tertulis dan terpantri dalam pikiran saja. Sebab hanya dalam naungan khilafah, islam dapat diterapkan secara kaffah. Menegakkan khilafah adalah suatu kewajiban yang juga telah termaktub dalam Alquran dan Sunnah. Maka menjadi kewajiban seluruh umat muslim adalah memperlajari, menyebarkan, dan menerapkannya. Wallahu’alam.