Visi Sebuah Bangsa




Pada tanggal 14 Juli 2019, Presiden terpilih menyampaikan pidato pada acara Visi Indonesia, Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat. Dalam pidatonya tersebut Jokowi menyampaikan lima tahapan untuk mewujudkan visi negeri ini agar lebih adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif. Kelima tahapan tersebut adalah pembangunan infrastruktur yang akan terus kita lanjutkan, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), mengundang para investor sebanyak-banyaknya, reformasi birokrasi dan menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran (nasional.kompas.com, 15/07/2019).


Presiden Joko Widodo juga meminta kepada seluruh pihak untuk tidak alergi terhadap adanya investasi, termasuk investasi asing. Sebab, investasi asing ini berguna bagi Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya.


Catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi Triwulan I 2019 total mencapai Rp 195,1 triliun. Nilai ini naik 5,3 % dibanding periode yang sama tahun 2018, sebesar Rp 185,3 triliun. Adapun perincian nilai investasi dalam negeri sebesar Rp 87,2 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp 107,9 triliun (bisnis.tempo.co, 14/07/2019).

Sepintas ketika melihat isi dari tahapan tersebut tidak ada yang salah. Namun, jika kita cermati dan amati lebih dalam maka akan memunculkan suatu hal lain. Semua itu hanya ingin menajamkan cengkeraman dari para kafir penjajah di negeri ini.

Dalam konsep ekonomi neoliberal menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur menjadi persyaratan mutlak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Salah satu tolak ukur dari pertumbuhan ekonomi ini adalah besaran nilai akumulasi modal dan produksi barang-jasa. Sebagai bentuk dari dampak tumbuhnya industri-industri manufaktur pasti akan membutuhkan fasilitas penunjang. Fasilitas tersebut diantaranya adalah jalan raya, bandara, pelabuhan, kawasan pergudangan, jalur kereta api dan lain sebagainya (yang menopang usaha tersebut).


Ketika sistem yang sekarang ada (kapitalis-liberal), maka pembangunan-pembangunan infrastruktur tersebut menjadi wilayah yang menjadi incaran dan rebutan bagi korporasi serta lembaga-lembaga keuangan tingkat tinggi bahkan skala internasional. Indonesia tak mampu lagi menjadi tuan di rumah sendiri. Padahal pada kenyataannya adalah Indonesia terlihat kaya jika dilihat dari sumber daya alam (SDA), namun yang terungkap adalah negeri ini tak mampu untuk mengelola serta mempergunakannya untuk kemaslahatan rakyatnya. Sungguh sangat memilukan kejadian ini. Negara pun akhirnya tak mampu untuk membiayai pembangunan. Alih-alih mau membiayai pembangunan di negeri ini, untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat saja negara sudah tidak sanggup lagi.


Dalam hal ini, ketidakmampuan negara dalam menyediakan modal yang pada akhirnya memaksa (mau tidak mau) akan selalu melibatkan pihak lain untuk memperlancarnya. Pihak tersebut adalah korporasi, utamanya yang berasal dari pihak asing. Dalam hal ini negara menjadi dikendalikan oleh korporasi. Terlebih lagi mereka selalu membisikkan bahwa ketika negara tersebut maju dalam hal ekonomi maka akan semakin kecil pula porsi dari anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi tersebut.



Akhirnya muncul sebuah konsep yang kemudian dipraktikkan dalam skema pembiayaan berdasar pada dunia usaha yang dikenal dengan Public Privat Partnership, Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA). Dalam impementasinya, skema pembiayaan ini memberikan andil besar kepada swasta untuk mengelola serta membangun berbagai macam proyek infrastruktur. Sedangkan peran pemerintah hanya sebagai penjamin dan regulator semata.



Sejatinya berdasarkan fakta yang ada bahwa dengan adanya para investor asing tersebut semakin memperkuat kapitalisasi berbagai kebutuhan layanan publik. Dan kembali lagi, rakyat yang akan menelan pil pahit. Rakyat yang kemudian akan semakin menderita lewat itu semua. Pintu penjajahan kembali semakin lebar terbuka dan asing smakin berkuasa atas aset-aset yang seharusnya dimiliki umat.



Walhasil dapat disimpulkan bahwa dengan adanya lima tahapan tadi, negeri ini akhirnya dibawa ke arah visi sebuah bangsa yang akan melanggengkan sistem sekulerisme, kapitalisme dan neoliberalisme. Ini adalah visi yang lemah dan dikontrol (dikte) oleh kekuatan politik yang kuat (kapitalisme) yang mempunyai jiwa penjajah.



Akan sangat jauh berbeda manakala Islam hadir dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dalam hal investasi infrastruktur, negara harus turut andil didalamnya. Setidaknya ada tiga prinsip yaitu, pembangunan infrastruktur adalah murni tanggung jawab negara dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta. Kedua adalah perencanaan wilayah yang baik maka akan mengurangi kebutuhan trasnportasi. Artinya adalah bahwa pembangunannya disesuaikan dengan kebutuhan serta kepentingan dari masyarakat atau rakyat yang ada di daerah tersebut. Ketiga adalah negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki (teknologi navigasi, fisik jalan, navigasi, telekomunikasi).



Besarnya dana guna membangun infrastuktur diambilkan dari baitul mal (kas negara), dari pos selain zakat (antara lain pos pemasukan pengelolaan kepemilikan umum, jizyah, kharaj, ghanimah, dll). Daulah Islam tidak menjadikan utang dan pajak sebagai pemasukan utama negara. Pajak hanya diambil pada saat mendesak dan hanya bagi warga muslim yang aghniya (kaya). Dalam hal utang, maka negara harus memikirkan dengan sungguh-sungguh. Jika memang keadaannya genting serta tidak ada mudhorot di dalamnya maka boleh saja diambil.


Selain itu, dalam hal pengeluaran negara akan betul betul menerapkan skala prioritas. Tingkat kebutuhan, mendesak atau tidak menjadi pertimbangan penting. Pembangunan selalu tepat sasaran sesuai kebutuhan. Tidak akan ada pembangunan infrastruktur yang berujung pada “ngangkrak” tak terpakai.  Semua akan dipertimbangkan dengan matang, menyesuaikan dengan dana yang tersedia serta tetap mengutamakan terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat.


Artinya adalah Islam akan menerapkan visi bangsanya pada dasar yang kuat, yaitu aqidah Islam (Mewujudkan Rahmat Bagi Seluruh Alam). Tentunya akan sinergi antara politik dalam serta luar negerinya yaitu bersumber pada akidah islam pula. Dengan begitu maka negara akan menjalankan secara totalitas syariat islam secara sempurna dan menyeluruh.

Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh khulafaur Rasyidin dan para sahabat. Selama tiga belas abad lamanya dunia menjadi aman dan sejahtera berkat dari diterapkannya Islam (di dua pertiga negara). Dalam hal ini negara (Khilafah) menghentikan segala bentuk penjajahan serta penderitaan yang dirasakan oleh umat manusia di muka bumi dan menjadi pedoman arah perpolitikan internasional.


Dengan menjalankan konsep tersebut di atas maka akan membuat negara dalam hal ini adalah pemimpin negeri menjalankan secara sungguh-sungguh kewajiban yang sejatinya harus dilakukan. Dalam hal ini pemimpin negeri harus bisa menjalankannya dengan baik, artinya memenuhi hak-hak dari rakyatnya. Tentulah semua itu hanya bisa diterapkan manakala sistem yang ada adalah Islam. Semoga akan segera terwujud dan haruslah ada usaha keras kita agar sistem tersebut mampu diterapkan dengan baik dan se-segera mungkin. Sudah saatnya berjuang bersama agar mempercepat pertolongan dari Allah SWT. Wallahu a’lam.



Mulyaningsih, s.pt

Pemerhati masalah anak, remaja dan keluarga

Member Akademi Menulis Kreatif Regional Kalsel

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak