Oleh : Ummu Izza
Mudik merupakan salah satu ajang tradisi menjelang hari raya, bagaimana tidak berbulan-bulan sibuk bekerja, bertahun-tahun di perantauan kembali ke kampung halaman bertemu sahabat dan berkumpul dengan keluarga tentu jadi moment yang sangat dirindukan. Berbagai hal pun telah dipersiapkan mulai dari baju baru, oleh-oleh dan tentunya tiket kendaraan.
Namun sayang beribu sayang tradisi mudik yang dulunya sangat dinanti kini membuat sakit hati, karena harga BBM, tatif tol dan harga tiket kendaraan melambung tinggi. Hal itu tampak dari mahalnya berbagai tarif yang harus dibayar. Seperti tarif tol Bakauheni-Termanggi Besar, Rp 112.500 untuk kendaraan golongan I; Rp 168.500 untuk kendaraan golongan II dan III; dan Rp 224.500 untuk golongan IV dan V. Penetapan tarif ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 305/KPTS/M/2019 tentang Penetapan Golongan Jenis Kendaraan Bermotor.
Penting dicatat, tarif tol Indonesia khususnya Tol Trans Jawa sebagaimana dikeluhkan publik adalah termahal di ASEAN. Yakni Rp 2.264,6/km (tirto.co.id). Sedangkan Tol Jakarta-Cikampek setelah menggunakan sistem terbuka penuh, dari Karawang Barat ke Karawang Timur melambung luar biasa. Sebelumnya untuk kendaraan Golongan I Rp 2.500 berubah menjadi Rp 12.000, dan Golongan II dari Rp 4. 000 mejadi Rp 18.000 (bisnis.com, 27 Mei 2019).
Adapun angkutan transportasi yang sangat dirasakan pada liburan lebaran tahun ini adalah kenaikan harga tiket pesawat domestik yang begitu melambung tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat umumnya. Padahal, angkutan udara selama beberapa tahun terakhir menjadi andalan para pemudik. Karena selain lebih terjamin keamanan dan nyaman angkutan udara juga lebih cepat mengantarkan ke tempat tujuan.
Seperti rute Jakarta-Padang di tanggal 28 Mei hingga 3 Juni 2019 sold out dan tersisa tanggal 4 Juni Rp 4,6 Juta, dan Jakarta Medan dengan maskapai Garuda yang tersisa kelas bisnis dengan harga Rp 9.942.600 (detik.com.) Sementara daya beli masyarakat Rp 1 juta-1,5 juta berdasarkan hasil riset LM FEB UI terhadap Affordability to Pay (ATP/ Keterjangkauan untuk Membayar) dan Willingness to Pay (WTP/ Kesediaan untuk Membayar) (detik.com).
Yang lebih mengherankan adalah, Harga tiket peswat domestik ini jika dibandingkan denga harga tiket penerbangan internasional (Keluar Negeri) justru jauh lebih murah. Bandingkan saja untuk rute jakatra - manila (Philipina) dengan yang lebih jauh haga tiket pesawatnnya hanya Rp 1.350.000. (Taraveloka.com).
Sementara harga tiket angkutan kereta api, bis dan kapal juga tidak dapat dikatakan murah. Tidak saja mahal, jalan-jalan raya berbayar yang dibangun tidaklah didesain untuk memenuhi hajat hidup publik, termasuk hajat publik terhadap infrastruktur jalan raya saat liburan lebaran dengan peningkatan signifikan volume kendaraan. Akibat macet parah di sejumlah titik hingga puluhan kilometer dan puluhan jam harus ditanggung masyarakat. Penderitaan yang di alami luar biasa, mulai dari kepanasan berjam-jam, tidak ada fasilitas istirahat hingga buruknya fasilitas toliet.
Penguasa memberikan solusi atas permasalahan kenaikkan tarif tiket pesawat dengan mengundang maskapai asing masuk ke Indonesia. “Lho kita kan juga terbuka. Yang penting kompetisilah. Saya kira di dalam negeri sendiri kalau ada kompetisi kan bagus,” jelasnya. (News.beritaislam.org)
Lagi-lagi asing diberikan pintu selebar-lebarnya untuk mengepakkan sayapnya di Indonesia. Padahal maskapai penerbangan lokal pun masih butuh pembenahan. Kapitalisme benar-benar telah membutakan para penguasa sehingga rakyat yang menjadi korban pemerasan. Perizinan atas swasta dan asing akan menimbulkan banyak kerugian bagi rakyat dan keuntungan bagi para penguasa.
Akar Masalah transportasi
Carut-marut transportasi umum di Indonesia dimulai dari kesalahan paradigma dasar berikut perangkat aturan yang muncul dari paradigma dasar tersebut. Transportasi bukanlah sekedar kesalahan teknis namun kesalahan sistemik. Paradigma salah tersebut bersumber dari faham sekulerisme yang mengesampingkan aturan agama. Sekulerisme yang melahirkan sistem kehidupan kapitalisme telah memandang dunia transportasi sebagai sebuah industri. Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transportasi dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan.
Menurut pandangan kapitalis , dalam pelaksanaan pelayanan publik negara hanya berfungsi sebagai legislator, sedangkan yang bertindak sebagai operator diserahkan kepada mekanisme pasar. Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam kaca mata komersil, akibatnya harga tiket transportasi publik mahal namun tidak disertai layanan yang memadai. Demi mengejar untung tidak jarang angkutan umum yang sudah tidak layak jalan tetap beroperasi.
Efek penerapan sistem kapitalis menjadikan negara bangkrut, karena semua sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak pengeloaannya diserahkan pada para kapitalis pemilik modal. Negara hanya mendapatkan sekedar bagi hasil atau pajak/royalti dari pengelolaan tersebut . Karena keterbatasan dana, penyediaan infrastruktur kurang terurus. Sungguh ironis, rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan malah dibebani dengan pajak.
Membangun Infastruktur Transportasi Strategis dalam Sistem Khilafah.
Investasi infrastruktur strategis dalam perspektif islam di urai dalam 3 prinsip. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, tidak boleh diserahkan ke investor swasta. Kedua, perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad sebagai ibukota dibangun sebagai ibu kota kekhilafahan, setiap bagian kota diproyeksikan hanya untuk jumlah penduduk tertentu. Di kota itu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tidak ketinggalan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan, menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat. Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Teknologi & manajemen fisik jalan sangat diperhatikan Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Khilafah Utsmaniyah juga melakukan kewajiban ini. Dalam hal kemudahan alat transportasi untuk rakyat, khususnya para peziarah ke Makkah. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “HejazRailway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah, hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari. Khilafah Usmani pun menawarkan jasa transportasi kepada orang-orang secara gratis (Khilafah.com).
Khilafah adalah Pelayan Terbaik
Indonesia adalah negeri muslim. Lebih dari 85 % penduduknya memeluk agama Islam. Negeri ini juga dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Sangat disayangkan bahwa sumber daya alam yang melimpah ini tidak mampu untuk membuat sejahtera bagi rakyatnya. Negara telah melakukan salah urus dengan menerapkan sistem kapitalisme. Sumber masalah bukanlah berasal dari siapa yang berkepentingan untuk mengurus negar dan rayat, melainkan lebih bersifat sistemik. Sistem demokrasi kapitalis meniscayakan lahirnya pemimpin -pemimpin yang korup. Hal ini logis, karena bangun dasar untuk maju dalam bursa pemilihan pemimpin adalah kemanfaatan, bukan untuk kemaslahatan umat.
Berbeda jauh dengan kondisi pada era khilafah Islam eksis.
Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam shalat tahajudnya sering membaca ayat Surat ash-Shaffat ayat 22-24). Yang artinya sebagai berikut:
(Kepada para malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS ash-Shaffat [37]: 22-24).
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman.
Itulah diantara contoh yang pernah dilukiskan para salafus-shalih tentang tanggung jawab pemimpin dalam mengurus rakyatnya. Mereka memimpin bukanlah untuk kepentingan menumpuk harta. Mereka memahami benar sabda Baginda Rasulullah saw.:
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”. (HR Ibn Majah dan Abu Nu’aim).
Mereka juga amat memahami sabda Rasul saw. yang lain:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Sejarah Islam yang otentik sesungguhnya banyak mencatat fakta betapa Khilafah adalah pelayan rakyat terbaik sepanjang sejarahnya. Contoh kecil, selama masa Khilafah Umayah dan Abbasiyah, di sepanjang rute para pelancong dari Irak dan negeri-negeri Syam (sekarang Suriah, Yordania, Libanon dan Palestina) ke Hijaz (kawasan Makkah) telah dibangun banyak pondokan gratis yang dilengkapi dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal sehari-hari untuk mempermudah perjalanan bagi mereka. Sisa-sisa fasilitas ini dapat dilihat pada hari ini di negeri-negeri Syam.
Dimasa kehilafahan dahulu bukan hanya manusia yang dilayani, hewan-hewan pun mendapatkan perlakuan yang baik, dilindungi oleh para khalifah. Ibn Rusyd al-Qurthubi meriwayatkan dari Malik bahwa Khalifah Umar ra. pernah melewati seekor keledai yang dibebani dengan tumpukan batu. Menyaksikan penderitaan hewan itu, Khalifah Umar ra. segera membuang sebagian tumpukan batu dari punggung hewan itu. Pemilik keledai itu, seorang wanita tua, datang kepada Khalifah Umar ra. dan berkata, “Wahai Umar, apa yang engkau lakukan dengan keledaiku? Memangnya engkau memiliki hak untuk melakukan apa yang engkau lakukan?” Khalifah Umar ra. mengatakan, “Menurutmu, memangnya apa yang membuatku mau mengisi jabatan ini (khalifah)?” Yang dimaksud oleh Umar ra , sebagai khalifah, ia bertanggung jawab atas semua hukum Islam, yang meliputi pula tindakan yang disebutkan oleh hadis Rasulullah saw., “Berhati-hatilah untuk tidak membebani punggung hewan.” (HR Abu Dawud).
Dalam riwayat lain, karena begitu khawatirnya atas pertanggungjawaban di akhirat sebagai pemimpin, Khalifah Umar bin Khaththab ra. berkata dengan kata-katanya yang terkenal, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’”. Mindset seperti inilah yang mendasari pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan transportasi. Kemudian, penerapan sistem ekonomi Islam juga akan memberikan jaminan pembangunan ekonomi yang berkah, adil dan sejahtera yang akan meminimalisir kesenjangan ekonomi dan menjauhkan kerusakan pada masyarakat. Khilafah, sebagai institusi penerap Islam akan menyediakan infrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknologi terkini. Dengan begitu seluruh rakyat akan terlayani dengan baik dan tanpa tebebani lagi dengan bea yang mahal. Wallahu a’laamu bishshawab.