Oleh : Netty Susilowati
Siapakah yang tidak mengenal Sholahuddin Al Ayubi? Panglima besar Islam yang mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslim. Sholahuddin Al Ayyubi lahir dari keluarga yang memiliki visi dalam berumah tangga.
Adalah Najmuddin, seorang penguasa Tikrit belum menikah dalam waktu yang lama. Saudaranya, Assaduddin Syerkuh menawarkan puteri dari Raja Bani Saljuk atau puteri menteri agung zaman Abbasiyah. Tetapi Najmuddin menolak. Najmudin mencari sosok yang istimewa, seperti tercermin dalam perkataannya :
“Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin”
Lihatlah harapan besarnya. Anak yang mampu menaklukkan Baitul Maqdis. Yang ditarbiyah oleh ibundanya.
Selang waktu berlalu, suatu saat Najmudin duduk bersama seorang Syaikh dan berbincang-bincang di Masjid Tikrit. Datanglah seorang gadis memanggil Syaikh dari balik tirai . Syaikh meminta ijin kepada Najmuddin untuk berbicara dengan gadis tersebut. Syaikh menanyakan mengapa gadis tersebut menolak lamaran lelaki tampan yang telah datang padanya. Gadis tersebut menjawab :
“Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin"
Allahu Akbar! Ini kata-kata yang sama yang diucapkan Najmudin. Tanpa berpikir lama, Najmuddin memanggil Syaikh dan mengatakan ingin menikahi gadis tersebut. Yang ternyata hanya seorang gadis kampung yang miskin.
Tetapi bagi Najmuddin kesamaan visi dalam sebuah pernikahan jauh lebih penting daripada sekedar wanita cantik, tinggi, putih yang memiliki harta dan tahta. Lihatlah keluarga mereka. Yang mampu melahirkan seorang panglima mulia.
Najmuddin berhasil merencanakan sebuah pernikahan yang dilandasi kesamaan visi. Bukan sekedar merencanakan jumlah anak dan usia pernikahan. Berapa tahunpun Najmuddin harus menunggu, sejauh apapun jarak yang harus dia jangkau, keyakinan akan istri yang memiliki visi yang sama jauh lebih besar mengalahkan apapun yang ada.
Inilah keluarga berencana yang sesungguhnya. Yang tidak hanya merencanakan berapa jumlah anaknya. Tetapi sekaligus menanamkan harapan dan cita-cita besar untuk masa depan anak-anaknya.