Oleh: Fatmawati Pensiunan guru dan pegiat dakwah
Tetap istiqamah dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan memang tidak mudah. Apalagi dalam ketaatan kepada Allah SWT dan dalam perjuangan menegakkan syariah-Nya.
Ejekan, tekanan hingga berbagai ancaman baik psikis (seperti teror) maupun fisik (penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan dan sebagainya), semua itu sering membuat banyak orang tidak istiqamah. Mereka bisa goyah lalu menyerah, kalah. Bahkan akhirnya banyak yang beralih arah.
Demikian pula sebaliknya, bisikan hawa nafsu, godaan setan, pengaruh lingkungan yang buruk, tawaran kekuasaan dan jabatan, pujian, sanjungan, rayuan dan berbagai jebakan semua itu sering membuat banyak orang tidak istiqamah lalu menyerah hingga akhirnya menjadi pecundang. Itulah realitas yang terjadi dalam politik demokrasi sekuler saat ini, yang jauh dari norma dan aturan Islam.
Lihatlah para elit politik kita. Hari ini berseberangan esoknya sudah saling bergandengan tangan.
Siapapun bisa menilai. Semua itu bukan berangkat dari sebuah ketulusan, tetapi semata-mata karena kepentingan. Mereka hakikatnya sedang mempraktikkan adagium politik sekular yang kotor, "Tidak ada kawan atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi".
Demi kepentingan kekuasaan, apapun dilakukan. Tak ada lagi rasa bersalah dan takut dosa. Halal haram tidak lagi menjadi ukuran syariah tidak lagi dipandang relevan.
Begitulah jika manusia telah diharubiru hawa nafsu. Diperbudak syahwat kekuasaan. Semua itu berpangkal pada kecintaan manusia terhadap dunia. Padahal sabda Nabi Saw.,
"Andai dunia ini sebanding harganya dengan sayap seekor lalat saja, niscaya Allah SWT tidak akan membiarkan seorang kafir pun untuk meminum air dari dunia ini barang seteguk pun." (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Para elit politik termasuk para tokoh Islam, seolah tidak pernah belajar meneladani generasi salafush-shahih yang tak pernah silau oleh gemerlap dunia, harta dan kekuasaan. Bahkan ditawari jabatan pun sering tak mereka hiraukan.
Semua itu mereka lakukan bukan karena kekuasaan itu haram, tetapi semata-mata karena mereka khawatir akan Hari Pertanggung jawaban. Dan mereka selalu istiqamah dalam menyatakan kebenaran.
Imam an-Nawawi di dalam Riyadh ash-Shalihin mengatakan,
"Para ulama berkata, istiqamah adalah luzum ath-thaah (konsisten dalam ketaatan)."
Karena itu istiqamah hukumnya wajib. Allah SWT. berfirman,
"Karena itu beristiqamahlah sebagaimana kamu diperintah...." (TQS Hud [11]: 112)
Rasul Saw. pun pernah bersabda kepada Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi ra.:
"Katakan, 'Aku beriman kepada Allah, lalu beristiqamahlah!'." (HR. Ahmad dan Muslim)
Para ulama menjelaskan, agar bisa tetap istiqamah, setidaknya ada 6 hal yang harus dilakukan.
Pertama beriman secara benar dan lurus. Menyatu antara keyakinan, ucapan dan tindakan (Lihat: QS. Ibrahim [14]: 27).
Kedua, menjaga keikhlasan semata-mata karena Allah SWT. dan selalu berusaha terikat dengan syariah (QS. al-Bayyinah [89]: 5).
Ketiga, mengkaji, menghayati dan mengamalkan seluruh isi Alquran (Lihat: QS. an-Nahl [16]: 102; QS. al-Furqan [25]: 32).
Keempat, teman dan lingkungan yang shalih. Allah SWT. menyatakan dalam Alquran bahwa salah satu sebab utama yang menguatkan para sahabat adalah keberadaan Rasulullah Saw. di tengah-tengah mereka.
Kelima mengkaji dan menghayati kisah-kisah orang-orang shalih terdahulu sehingga bisa dijadikan teladan dalam beristiqamah.
Keenam memperbanyak doa kepada Allah SWT. agar diberi keistiqamahan. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian (Lihat: QS. Ali 'Imran [3]: 146-148).
Para pengemban dakwah tentu wajib selalu istiqamah di jalan perjuangan dakwah (QS asy-Syura [42]: 15). Mereka juga harus lurus dalam pemikiran. Caranya dengan hanya mengambil dan mengikuti pemikiran Islam yakni pemikiran tentang syariah, sistem pemerintahan Islam (Khilafah), jihad dan lain-lain yang semuanya harus diambil, diamalkan dan diperjuangkan.
Sebaliknya mereka juga wajib mencampakkan pemikiran ynag berasal dari luar Islam seperti sekularisme, demokrasi, HAM, pluralisme, liberalisme, feminisme dan lain-lain lalu luruskan dalam sikap dan tidakan. Misalnya tidak boleh dipengaruhi oleh penerimaan ataupun penolakan manusia, panjang atau pendeknya masa perjuangan, juga tidak dipengaruhi oleh keuntungan dan kerugian yang menimpa perjuangan dakwah. Akan tetapi, semua perkara harus selalu dihubungkan dengan surga dan neraka, dengan ridha dan murka Allah SWT.
Maka pengemban dakwah dan pejuang Islam wajib selalu terikat dengan Islam.
Pengemban dakwah yang istiqamah dapat dipastikan lebih mencintai akhirat ketimbang dunia sebab ia yakin bahwa akhirat (surga) lebih baik dari pada dunia dan seisinya (QS. adh-Dhuha [93]: 4).
Wallah a'lam bi ash-shawab