Tak Ada Makan Siang Gratis



Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

(Member Komunitas Menulis Revowriter)


Ibarat tak ada makan siang gratis. Setelah "Perjuangan" yang menguras tenaga kini saatnya menikmati hasilnya.  Setelah beradu argumen dan kampanye untuk menarik konstituen, kini saatnya bagi-bagi kue jabatan. Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem, Tengku Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya akan meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Hal itu dikarenakan jumlah kursi Nasdem di DPR lebih banyak ketimbang PKB (jawapos.com,3/7/2019).


Sebelumnya, ‎Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sudah mengusulkan sepuluh nama kadernya untuk duduk di posisi menteri Jokowi-Ma’ruf Amin di 2019-2024. Soal kementerian apa yang diinginkan, Cak Imin, sapaan Muhaimin Iskandar, tidak bisa memastikan. Namun, katanya, bisa saja posisi yang diperoleh berubah dari komposisi dalam kabinet saat ini. 


Sungguh, hal yang tak pantas mereka lakukan setelah proses pemilu yang tak bisa dikatakan lancar. Sidang MK ternyata tak mampu mendudukkan kecurangan pemilu pada tempatnya. Ratusan KKPU yang meninggal tak juga menjadikan muhasabah. Dan surat-surat suara yang menjadi saksi bisu betapa kuasanya seseorang yang ada dibalik setting-an skenario ini. 


Demokrasi sedang menunjukkan kebobrokannya, tak malu-malu lagi mengakui adanya politik transaksional. Mereka bukan berjuang demi rakyat, slogan mereka ketika masa kampanye menguap bersama syahwat memenuhi kepentingan pribadi. Rakyat sudah mendapatkan haknya, dengan pesta rakyat kini giliran mereka mendulang apa yang mereka sebut " mewujudkan aspirasi rakyat ".


Lantas dimana hak rakyat untuk mulai diurusi oleh mereka yang terpilih? karena ternyata hal pertama yang ada dalam benak mereka adalah menstabilkan posisi mereka dalam parlemen dan jajaran kementerian, tak ada lawan politik yang ada hanyalah kepentingan politik. Kelak, kebijakan dan peraturan yang mereka keluarkan juga mendukung apa yang hari ini belum didapat. Yang pasti, kepentingan sponsor, partai dan kelompok lebih utama daripada rakyat. 


Bagaimana kesejahteraan bisa diraih jika seperti ini keadaannya? kekuasaan yang mereka raih hari ini ternyata hanyalah batu loncatan. Bukan sebagai amanah. Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, karena yang berdaulat adalah suara manusia.  Dan ini bertentangan dengan Islam. Dalam islam kekuasaan adalah amanah, maka ketika kekuasaan itu sah ada pada pundak seseorang, seketika itu ia telah terkena taklif syara untuk menyelesaikan amanah itu sebaik mungkin dengan Allah sebagai saksinya.


Umar bin Abdul Aziz patutlah menjadi contoh nyata.  Ia menjadi khalifah setelah wafatnya sepupu dan kakak iparnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Saat itu kekuasaan Daulah Umawiyah telah mencapai Andalus (Spanyol) di benua Eropa dan Kasghar di daratan China. Dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas meliputi banyak negara di tiga benua; Asia, Afrika, dan Eropa; sudah tentu Umar bin Abdul Aziz sibuk mengatur kehidupan rakyatnya.


Imam Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sari’ Asy-Syami bahwasanya khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada seorang pejabat yang menjadi kawan duduknya: “Wahai fulan, semalaman saya berkeringat dingin karena memikirkan sesuatu.” Pejabat itu bertanya, “Apa yang sedang Anda pikirkan, wahai Amirul Mukminin?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Saya memikirkan tentang kuburan dan penghuninya. Jika saja engkau melihat seorang yang telah mati setelah tiga hari dalam kuburannya, niscaya engkau akan merasa takut untuk mendekatinya, meskipun sebelumnya engkau telah bergaul akrab dengannya dalam waktu yang sangat lama.”


Jika engkau melihatnya, maka engkau akan melihat sebuah rumah yang dipenuhi oleh serangga-serangga tanah [rayap], dialiri oleh nanah, dilubangi oleh cacing-cacing, baunya telah berubah dan kain kafannya telah rusak. Padahal sebelum itu postur tubuhnya bagus, baunya wangi dan pakaiannya putih bersih.” Umar bin Abdul Aziz lalu menangis tersedu-sedu, hingga akhirnya beliau pun pingsan. (Sayyid Husain Al-Affani, Sakbul ‘Abrat lil-Maut wal Qabr was Sakarat, 1/642).


Tak ada pemikiran selain amanah kekuasaan yang ada padanya kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Karena hanya kematian yang ia ingat, kematianlah pemutus kenikmatan di dunia dan jalan menuju penghisaban. Jelas hal ini tak akan mungkin bisa kita harapkan ketika masih demokrasi sebagai sandaran. Kita telah terbodohi , terlena dengan janji manis mereka. Dalam demokrasi Tak ada ketakwaan yang mampu menjamin seseorang takut kepada Allah kemudian benar-benar bekerja sesudah ia sah dipilih.

Padahal, rakyat hari ini sedang dalam keadaan sengsara, jauh dari sejahtera, rakyat butuh perubahan yang hakiki, meninggalkan ketidak adilan dan ketakutan. Hanya penerapan syariah kaffah dalam bingkai Khilafahlah jawaban atas krisis penguasa yang tawakal dan peduli.

Wallahu a'lam biashowab.






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak