Oleh: Asih Sri Wahyuni
Pegiat dakwah dan ibu rumah tangga
Perih, miris, sedih. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang hidupnya diatur oleh sistem kapitalisme yang berlandaskan kepada materi semata. Apapun dapat diperjualbelikan yang penting mendatangkan keuntungan. Bahkan mereka pun tega menjualbelikan manusia, khususnya yang menjadi korban adalah para perempuan.
Seperti yang diberitakan baru- baru ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebutkan sebanyak 29 WNI menjadi korban pengantin pesanan di China. Data tersebut diperoleh dari pengaduan korban sepanjang 2016- 2019. (DetikNews, 23 Juni 2019).
Sekjen SBMI Bobi Anwar Ma'arif mengatakan sebanyak 13 perempuan yang berasal dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dan 16 orang perempuan berasal dari Jawa Barat. Ia menduga pengantin pesanan merupakan modus dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dilihat dari adanya proses yang mengarah kepada perdagangan yang terencana, seperti adanya unsur proses, cara dan eksploitasi. Ada pendaftaran, penampungan, ada pemindahan seperti pengiriman ke luar negeri.
Modus yang mereka jalankan adalah korban dijanjikan akan menikah dengan orang kaya asal China dengan iming-iming dijamin seluruh kebutuhan hidup korban dan keluarganya. Namun sesampainya mereka di China, korban malah dipekerjakan dengan waktu yang demikian panjang dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore. Kemudian mereka pun dipaksa untuk mau mengerjakan pekerjaan rumah membuat kerajinan tangan untuk kemudian dijual.
Mirisnya seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai suami dan keluarga suami. Lebih tragis korban pun mengalami penganiayaan, meski dalam kondisi sakit tetap harus mengerjakan pekerjaannya.
Beruntung, ada salah seorang korban yang berhasil melarikan diri dan melapor ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Lembaga Badan Hukum (LBH) Jakarta. Akhirnya Polda Kalbar berhasil mengamankan 8 pria China bersamaan dengan seorang pria WNI berinisial AM (54) yang merupakan mak comblang dalam bisnis tersebut dan ia terjerat pidana penjara maksimal 15 tahun.
Fakta ini menambah panjang sederet kasus perdagangan manusia. Sebelumya Bareskrim polri berhasil membongkar sindikat perdagangan orang ke Timur Tengah. Para pelaku dapat meraup keuntungan milyaran rupiah setiap tahunya dari para korban. Kasus perdagangan orang ini disebut yang terbesar di Indonesia karena korbannya mencapai 1.500 orang.(Sindonews, 9 April 2019)
Ini baru fakta yang terungkap, entah berapa banyak fakta lain yang tidak terekspos, mengingat permasalahan perdagangan manusia seperti gunung es yang sampai saat ini kita belum bisa mengkalkulasi datanya secara pasti.
Tentu fakta-fakta ini sangat memprihatinkan. Mengingat Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumberdaya alamnya, semestinya mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya. Namun faktanya banyak rakyatnya termasuk perempuan- perempuan yang menjadi korban bisnis perdagangan manusia (traficking) hanya berbekal iming-iming kehidupan yang layak.
Hal ini membuktikan bahwa ketika sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan tolok ukur perbuatannya adalah manfaat atau materi semata. Apapun bisa dilakukan termasuk menperjualbelikan perempuan. Apalagi dalam kapitalisme perempuan seolah menjadi obyek yang dapat menghasilkan keuntungan materi. Maka didoronglah para perempuan untuk bekerja memenuhi kebutuhanya.
Ditambah lagi dengan telah bergesernya gaya hidup masyarakat menjadi kebarat-baratan yaitu konsumtif dan hedonis. Manusia bebas melakukan apapun yang penting mendapatkan kebahagian berupa kepuasan materi karena sudah diliputi hawa nafsu duniawi.
Berbeda dalam pandangan Islam, dimana aturannya berasal dari Yang Maha Menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan yaitu Allah SWT, telah memberikan aturan begitu sempurna dan menyeluruh mencakup seluruh aspek kehidupan. Termasuk mengatur masalah nafkah, dimana dalam aturan Islam kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak-anak dan keluarganya sesuai dengan firman Allah SWT,
"Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (T.Q.S al-Baqarah: 2; 233)
Ketika seorang ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah beralih ke jalur ayah dari kakek dan seterusnya dan kalau tidak mampu juga maka kewajiban berpindah kepada negara. Hal ini karena Islam memandang bahwa seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengurus rakyatnya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw,
"Imam atau khalifah adalah pengurus dan yang bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (H.R. Muslim dan Ahmad).
Artinya negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi para laki-laki agar mereka bisa menafkahi anggota keluarganya, dapat menjamin sandang, pangan dan papannya. Kebutuhan primer dipenuhi oleh negara.
Negara juga melakukan pembinaan pada masyarakat dengan menguatkan akidah dan keimanan yang termaktub dalam aturan negara sehingga tidak akan mungkin ada rakyatnya yang rela dijualbelikan menjadi korban traficking karena landasan kehidupannya adalah halal dan haram. Mereka tidak akan berani melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Allah.
Gambaran Islam pada saat seorang pemimpin mengurus rakyatnya dapat kita lihat pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab. Beliau kerap melakukan patroli sendiri ke tengah masyarakat karena khawatir ada rakyatnya yang kelaparan. Tatkala beliau menemukan ada keluarga yang sedang memasak batu untuk anak-anaknya, beliau segera membawa gandum dengan memanggul sendiri dan menghantarkan sampai memasakannya. Beliau baru merasa tenang jika telah telihat rakyatnya sudah tercukupi kebutuhanya
Sudah tampak jelas bahwa sistem kapitalisme telah menyengsarakan rakyat. Maka dari itu sudah saatnya kita beralih kepada sistem Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Rasyidah 'ala Minhajin Nubuwah yang telah terbukti selama 13 abad lamanya mampu memberikan kesejahteraan, keadilan dan keamanan bagi seluruh rakyatnya.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.