Sistem Zonasi Telah Usai



Oleh : Irayanti

(Member WCWH)


Jauh panggang dari api, peribahasa yang pantas disematkan untuk  kebijakan pemerintah yakni sistem zonasi dalam proses penerimaan siswa baru. Sistem zonasi berlaku sejak ditekennya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). 


Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 kemudian digantikan dengan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Tujuan khususnya adalah untuk merevitalisasi pelaksanaan penerimaan siswa baru dengan lebih obyektif, transparan, tidak diskriminatif dan berkeadilan. Tahun ajaran baru akan tiba kekisruhan sistem zonasi telah usai.


Ada Apa dengan Sistem Zonasi 

Sistem zonasi adalah sebuah ketentuan baru di dunia pendidikan Indonesia yang saat ini menuai kontroversi. Keinginan pemerintah untuk menghilangkan kastanisasi pendidikan agar tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan non-favorit, demi mewujudkan keadilan pendidikan adalah bagus. Sayangnya, hal itu tidak dipersiapkan dengan baik. Hasilnya timbullah kekisruhan luar biasa.


Para orangtua khawatir akan nasib anaknya, akhirnya menempuh segala cara agar anaknya diterima di sekolah yang diinginkan. Mendadak pindah rumah agar berdekatan dengan sekolah, pura-pura miskin dengan mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), menyuap oknum panitia PPDB, bahkan membuat Kartu Keluarga titipan dilakukan agar si anak bisa bersekolah pada sekolah yang diinginkan. 

Salah seorang orangtua calon siswa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), Jimmy saat dihubungi Kompas.com (25/06/2019) menyatakan kecewa dengan sistem zonasi dalam PPDB 2019. Dalam aplikasi PPDB jarak dari rumah ke sekolah menjadi 2 kilometer padahal sebenarnya hanya 400 meter dihitung secara manual.


Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto juga mengatakan menerima laporan kecenderungan manipulasi kartu keluarga. Ada laporan yang menitip alamat, ini artinya ada ruang untuk manipulasi administrasi, jadi sistem kita belum siap. (Kompas.com,25/06/2019).


Bahkan Yumna seorang murid berprestasi lulusan SDN Pekeringanalit 02, Kota Pekalongan membakar belasan piagam penghargaan yang telah diraihnya, karena tidak bisa masuk di sekolah menengah pertama yang diinginkannya dengan adanya sistem zonasi. Sungguh Ironis, ketika meteran menjadi penghalang bagi generasi untuk masuk sekolah.


Pangkal Masalah Sistem Zonasi

Niat  pemerintah menjadikan pendidikan lebih baik dengan sistem zonasi hanyalah ilusi. Bukan kali ini saja pemerintah mencari cara untuk memperbaiki pendidikan Indonesia. Tampuk pemerintahan yang sebelumnya juga belum mampu memberi solusi. Baik dari pergantian kurikulum beriringan bergantinya menteri hingga sekarang kebijakan sistem zonasi belum mampu menjadikan pendidikan ke arah yang baik.


Menurut KPAI ada 9 masalah PPDB yaitu: penyebaran sekolah negeri yang tidak merata, ada calon siswa tidak terakomodir, orangtua menginap di sekolah padahal sistemnya melalui online, minimnya sosialisasi, kesiapan insfrastruktur, transparansi kuota per zonasi, penentuan jarak/zonasi yang kurang melibatkan kelurahan, penunjuk teknis (juknis) kurang jelas, adanya kebijakan menambah kelas dengan sistem 2 shift karena jumlah sekolah yang tidak merata. Namun, . jika kita menelisik niat zonasi ini baik, tetapi pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk menyiapkan fasilitas, infrastruktur, kesiapan tenaga kependidikan untuk membuat semua sekolah memiliki kualitas yang sama. 


Sistem zonasi sekolah kalaupun dihilangkan 9 masalah tersebut, tetap tidak akan mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anak negeri. Sebab, tidak adanya political will oleh negara untuk mengedepankan kualitas pendidikan anak-anak negeri. Yang terjadi sekarang adalah masyarakat berasumsi bahwasanya sekolah atau pendidikan bertujuan untuk menjadikan anak-anak mereka kelak memiliki pekerjaan yang akan mendapatkan materi yang banyak. Bukan generasi yang unggul, berahlak, dan pembangun peradaban. Problem ini, tidak lain karena negara menetapkan dasar dan tujuan pendidikan yang diikuti dengan kurikulum pendidikan yang sekuler. Padahal dalam undang-undang tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun faktanya bertolak belakang dan menghasilkan output sekuler. Pangkal masalahnya pemerintah tidak mengubah orientasi pendidikan yang sekuler bahkan materialisme.


Negara berperan sebagai pemimpin, harus memastikan 3 pilar pendidikan juga yakni sekolah, orangtua dan masyarakat. Serta pemerintah harus meratakan kualitas pendidikan dengan menyiapkan fasilitas, infrastruktur dan kesiapan tenaga kependidikan yang didukung pula dengan kesejahteraan tenaga pendidik dan pengembangan kualitas pendidik (pelatihan). Negara tidak boleh berlepas tangan dalam pendidikan, karena pendidikan berperan penting sebagai investasi masa depan peradaban. Pendidikan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta sehingga menjadi komoditas bisnis. Sekolah swasta diperbolehkan ada tapi tetap dibawah kendali negara. Bila pemerataan kualitas pendidikan tersebut sudah dilakukan, maka sistem zonasi tak masalah untuk diterapkan. Setiap siswa akan mendapatkan layanan pendidikan yang merata sehingga rakyat mendapat pendidikan yang bermutu dan murah. Sayangnya, pemerintah lebih suka solusi instan tanpa memikirkan dampak yang terjadi terhadap masyarakat.  Sistem zonasi sudahi demi generasi.


Solusi Pendidikan Indonesia

Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup, memiliki konsep pendidikan yang berbasis aqidah, sehingga mencari ilmu bukan sekedar urusan duniawi namun urusan akhirat. Negara memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengurus masyarakat, sehingga pendidikan bisa diakses semua orang dengan mudah. Dan pembiayaan sarana pendidikan berasal dari pengelolaan kekayaan alam semisal hasil tambang, hutan, laut dan sebagainya yang merupakan kepemilikan umum akan digunakan untuk hajat hidup rakyat. Sehingga tidak ada cerita siswa putus sekolah karena tak punya biaya.


Mengenai zonasi, murid dalam sistem Islam berhak sekolah dimana saja yang diinginkannya. Karena semua sekolah sudah memenuhi standar. Namun, bisa pula murid memperoleh ilmu dari guru yang disukainya. Contohnya pada masa Khilafah Abbasiyah semua sekolah kualitasnya bagus, namun Baghdad tetap menjadi tempat berkumpulnya para pencari ilmu. Hal ini wajar adanya sebagai ibukota negara. Bukti keberhasilan atas negara Islam dalam menyediakan pendidikan berkualitas melahirkan output atau ilmuwan yang bukan saja pandai dalam ilmu dunia namun akhirat, sebut saja Ibnu Khaldun bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah, beliau pula seorang hafiz. Ada pula Al-Khawarizmi penemu konsep aljabar dan algoritma, Ibnu Sina dan masih banyak lagi. 


Mari pula kita renungi pernyataan jujur Will Durant dalam bukunya The Story Of Civilization yang menggambarkan betapa totalitasnya negara Islam (khilafah) memberikan pelayanan kepada warga negaranya. 

“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” 


Tidak perlu dilema pada pilihan zonasi atau tidak atau dengan kata lain masalah meteran penentu sekolah karena dia persoalan cabang. Tapi mari menyelesaikan persoalan pokok pendidikan Indonesia secara tuntas dengan sistem Islam yang kesahihannya telah terjamin karena berasal dari Ilahi, yang keberhasilannya telah teruji..

Walllahu ‘alam.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak