Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
(Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
Pendaftaran masuk sekolah tingkat SD, SMP dan SMA kini memakai sistem zonasi. Tujuannya agar sebaran siswa merata di setiap wilayah, sekaligus menghilangkan istilah sekolah favorit dan non favorit. Namun efeknya, beberapa sekolah justru kekurangan siswa. Sementara sekolah lainnya membludak. Apa sebenarnya yang terjadi? Sudah tepatkah upaya sistem zonasi untuk pendidikan di negeri ini?
Sebanyak 95 Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kota Banjarmasin tercatat belum mampu memenuhi jumlah murid yang ditentukan. Faktornya adalah pembatasan sistem zonasi pada Mei lalu sehingga kuota murid tidak dipenuhi minimal 32 dan maksimal 36 siswa pada SD. Informasi yang dihimpun, di Kecamatan Banjarmasin Selatan ada 29 SDN yang kekurangan murid, Banjarmasin Barat 22 SDN, Banjarmasin Timur 21 SDN, Banjarmasin Tengah 13 Murid dan Banjarmasin Utara 12 Murid (apahabar.com).
Penerapan sistem zonasi pada Pendaftaran Penerimaan Siswa Baru (PPDB) 2019 mensyaratkan bahwa jarak dari rumah ke sekolah menjadi prioritas, bukan nilai rapor dan ujian nasional. Sistem ini menimbulkan pro dan kontra berbagai kalangan masyarakat karena dalam pelaksanaannya ditemui berbagai masalah di lapangan. Merespons hal itu, pengamat pendidikan mengatakan, ada empat perbaikan yang perlu diperhatikan pemerintah terkait pelaksanaan sistem zonasi pada PPDB 2019 kali ini.
Pertama, sinkronisasi pusat-daerah. Menurutnya, belum banyak pihak yang mengerti tentang pelaksanaan sistem zonasi pada PPDB kali ini, termasuk para kepala daerah. Kedua, yang dinilai menjadi masalah adalah belum ada lembaga yang bisa memberi solusi jika terjadi masalah di lapangan. Belum ada lembaga bersama yang diistilahkan dengan clearing house, yang mampu menyelesaikan problem saat pelaksanaan PPDB. Lanjutnya, perbaikan ketiga yang mesti dilakukan adalah menyuarakan dan memviralkan hasil kajian yang digunakan sebagai dasar permberlakuan sistem zonasi. Hal ini penting dilakukan untuk kepentingan publik. Terakhir, perbaikan keempat yaitu melakukan persiapan terhadap para kepala sekolah dan guru di sekolah favorit agar mereka mampu menghadapi penerapan sistem zonasi (banjarmasin.tribunnews.com).
Meski memasuki tahun kedua penerapan sistem zonasi dengan berbagai upaya perbaikannya, namun sengkarut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tidaklah berkurang. Bahkan tetap dilingkupi suasana yang memprihatinkan berupa demo penolakan masyarakat, berbagai kecurangan, kesulitan akses pendidikan, dan biaya pendidikan yang masih memberatkan. Selain itu, fakta-fakta miris seputar penerapan sistem zonasi, seperti sekolah minus murid, siswa depresi, permainan KK, dan lain-lain membuktikan kebijakan penguasa yang tak bijak karena tak menyentuh akar masalah kesenjangan bidang pendidikan.
Kalau mau jujur, sebenarnya penerapan sistem kapitalismelah yang telah membuat kekacauan di negeri ini, termasuk di bidang pendidikan. Beragam polemik yang terjadi muncul akibat tidak terwujud kualitas pendidikan yang merata, perbandingan jumlah sekolah dengan jumlah siswa belum ideal, adanya kesenjangan akses, sarana dan prasarana yang berbeda antara di desa dan kota, begitupun dengan kualifikasi pengajar yang belum memadai. Sehingga, adanya stigma sekolah favorit dan non favorit pun, berangkat dari pemahaman kapitalis-sekuler yang menjadikan nilai materi sebagai tujuannya. Dalam sistem kapitalis, istilah ada uang ada kualitas seperti menjadi kewajaran. Pendidikan seolah menjadi komoditas meraup untung. Minusnya peran negara dalam sistem kapitalisme menyebabkan kualitas pendidikan menurun.
Seharusnya PR besar penguasa adalah menjadikan semua sekolah sebagai sekolah favorit, dengan meningkatkan kualitasnya, baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana, akses, maupun kualitas guru sebagai pengajar. Dengan demikian, tanpa sistem zonasi sekalipun sebaran siswa akan merata dan dikotomi sekolah favorit dan non favorit dengan sendirinya akan terhapus, karena semua sekolah berkualitas. Bahwa di luar soal kurikulum, akar problem pendidikan yaitu pemerataan pembangunan bidang infra dan suprastruktur pendidikan. Sehingga solusinya adalah memperbaiki paradigma pendidikan dan implementasinya.
Pendidikan merupakan hak rakyat dan kewajiban negara menyelenggarakannya. Negara wajib mempermudah proses bagi rakyat dalam mengenyam pendidikan. Berbagai sarana dan prasarana sejatinya diupayakan oleh negara. Agar terwujud pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat di seluruh pelosok negeri, yang mampu melahirkan manusia berkepribadian Islami dan punya life skill.
Rasulullah Saw bersabda: “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Fasilitas gedung, sarana dan prasarana sekolah di semua wilayah merata, dibiayai penuh oleh Khalifah sebagai pemimpin umat yang diambil dari kas negara. Hal ini dilakukan karena seorang Khalifah dalam sistem Khilafah adalah periayah atau pengatur urusan rakyat.
Di masa kekhilafahan dulu, setiap Khalifah berlomba-lomba membangun sekolah serta melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Baik berupa auditorium, gedung pertemuan, asrama mahasiswa, perumahan guru/dosen dan ulama, kamar mandi, dapur, ruang makan, bahkan taman rekreasi. Sebagaimana Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad yang didirikan Khalifah Al-Mustanir pada abad ke 6 H. Sekolah ini memiliki perpustakaan dan auditorium yang dipenuhi buku untuk keperluan belajar-mengajar, permandian serta rumah sakit yang siap dengan dokternya. Bahkan setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram).
Sistem pendidikan yang baik butuh ditopang kekuatan ekonomi dan political will negara, serta sistem-sistem lain yang baik. Dengan sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik sekuler demokrasi yang diterapkan hari ini akan sulit mewujudkan sistem pendidikan yang ideal. Hanya penerapan Islam kaffah yang mampu mewujudkan pendidikan yang adil merata dengan output generasi paripurna.[]