Oleh:
Muna Juliana N
(Alumni MAS Plus Darul Hufadz)
Mulai 27 Mei hingga 17 Juni 2019, dijadwalkan Calon Peserta Didik Baru SMA/SMK mengambil PIN untuk pendaftaran PPDB jalur online. Berdasarkan monitoring dan laporan yang diterima, mulai Senin (10/6/2019) dan hari ini Selasa (11/6/2019) mayoritas SMA/SMK berjubel dipadati antrian pengambilan PIN PPDB (Mayangkaranews.com, 12/6/2019).
Kondisi pengambilan semua sekolah sesak karena Calon Peserta PPDB secara bersamaan mengambil mulai kemarin setelah libur lebaran. Selain itu sebenarnya pengambilan PIN bisa dilakukan di semua sekolah sesama Kota atau Kabupaten dan tidak harus di sekolah yang dituju. Namun sebagian besar siswa dan orang tua tetap mengambil di sekolah tujuan dengan waktu yang sama sehingga menyebabkan antrian sesak. Kantor Cabang Dinas Pendidikan juga membantu melayani pengambilan PIN untuk mengurangi antrian di masing-masing sekolah.
Gaduh sistem zonasi tak hanya terjadi di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, warga memrotes karena PPDB kini minim mengakomodasi siswa berprestasi. Di Kabupaten Karanganyar warga panik dengan sistem adu cepat mendaftar hingga rela menginap di sekolah agar bisa mendapatkan urutan pertama. Kegaduhan karena zonasi ini meluas secara nasional. Para wali murid resah akan nasib anaknya, apakah diterima di sekolah negeri yang diinginkan atau tidak.
Sistem zonasi didasari keinginan pemerintah untuk menghilangkan penjajahan dari dalam pendidikan. Tidak boleh lagi ada istilah sekolah favorit dan non-favorit. Demi mewujudkan keadilan pendidikan maka setiap siswa berhak sekolah di sekolah terdekat dari rumahnya.
Sehingga anak-anak yang pintar secara akademis akan terdistribusi secara merata, tidak terkonsentrasi di sekolah favorit. Terwujudlah pemerataan pendidikan. Keinginan yang bagus. Sebenarnya, sangat di sayangkan hal itu tak dipersiapkan dengan baik. Hasilnya adalah kegaduhan luar biasa.
Akibat sistem zonasi, ada sekolah yang muridnya membludak dan ada juga yang muridnya hanya beberapa gelintir. Dari kegaduhan ini sampai muncul ungkapan : Tak perlu belajar rajin, yang penting rumah dekat sekolah impian. Sungguh miris!
Masalah zonasi ini berpangkal pada masalah tidak meratanya sekolah di Indonesia. Baik dari sisi jumlah, kualitas dan lokasi. Dari sisi jumlah, masih banyak daerah yang kekurangan sekolah. Ada beberapa sekolah negeri yang berjajar di pusat kota. Tapi, di pinggiran jumlahnya sedikit. Bahkan ada daerah-daerah yang terkategori 'blank spot' karena tak masuk zonasi mana pun.
Jika persoalannya adalah ketidakmerataan layanan pendidikan, solusi yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitas pendidikan secara merata. Dimulai dari pemetaan jumlah dan sebaran penduduk, lalu ditetapkan rasio ideal antara jumlah sekolah dan jumlah penduduk. Selanjutnya dibangun sekolah sesuai rasio tersebut.
Selain menyediakan sekolah dalam jumlah ideal, pemerintah harus menjadikan kualitas semua sekolah sesuai standard. Semua guru harus mendapat pelatihan, tidak hanya diberi pelatihan, guru juga haris dijamin kesejahteraannya. Sehingga guru bisa fokus mengajar, tidak pusing memikirkan aneka kebutuhan pokok. Gaji guru harus layak, sesuai dengan lelahnya dalam mencurahkan ilmu yang bermanfaat bagi murid. Sarana prasarana sekolah juga butuh ditingkatkan kualitasnya secara merata. Mulai dari penyediaan lab sains, lab bahasa, perpustakaan dengan isi buku-buku berkualitas, asrama dan sebagainya.
Agar tidak muncul istilah sekolah favorit, pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang tiga pilar pendidikan yakni sekolah, orangtua dan masyarakat. Sehingga penentu output pendidikan bukan hanya sekolah, melainkan sinergi di antara ketiganya. Maka selain kurikulum yang berkualitas, juga harus didukung orangtua yang peduli pendidikan dan masyarakat yang menghargai ilmu.
Negara berperan sebagai pemimpin, yang memastikan semua pilar tersebut berdaya secara efektif. Negara tak boleh lepas tangan dalam pendidikan, karena peran penting pendidikan sebagai investasi masa depan peradaban. Bila pemerataan kualitas pendidikan tersebut sudah dilakukan, tak masalah jika sistem zonasi diterapkan. Setiap siswa akan mendapatkan layanan yang sama, dimanapun dia sekolah.
Islam memiliki konsep pendidikan berbasis aqidah Islam, sehingga menuntut ilmu bukan cuma urusan dunia yang fana, namun juga urusan akhirat yang kekal. Kurikulumnya berkualitas tinggi karena bersumber dari wahyu Illahi.
Negara memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengurus masyarakat, sehingga pendidikan bisa diakses semua orang dengan mudah. Bahkan bagi masyarakat pedalaman atau badui yang suka berpindah-pindah, negara akan menyediakan guru yang mendatangi mereka, karena pendidikan adalah hak rakyat maka disediakan secara gratis. Namun bisa jadi murid ingin memperoleh ilmu dari guru tertentu yang disukainya.
Maka dari itu sebabnya, meski di masa khilafah Abbasiyah semua sekolah berkualitas bagus, namun Baghdad tetap menjadi berkumpulnya para pencari ilmu. Hal ini tak sampai menimbulkan masalah yang berarti, selain ramainya kota Baghdad, yang itu wajar adanya sebagai ibukota negara.
Bukti atas keberhasilan Islam dalam menyediakan pendidikan berkualitas adalah pernyataan Jacques C. Reister, cendekiawan barat, tentang khilafah, yakni : Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.
Maka tak perlu terjebak pada pilihan zonasi atau tidak, karena dia merupakan persoalan cabang. Tapi mari menyelesaikan persoalan pendidikan Indonesia secara tuntas dengan Sistem Islam yakni khilafah. Kesahihannya telah terjamin, keberhasilannya telah teruwujud beberapa abad silam.
Wallahu’alam Bi Shawwab
Tags
Opini