oleh: Yunia
Setelah sebelumnya Badan Pengelola Pajak Daerah (BPBD) kota Palembang menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax. Saat ini mulai mengawasi warung-warung pempek. Yang dimana setiap pembelian pempek, baik makan ditempat maupun bungkus akan dikenakan pajak sebesar 10 persen.
Rencananya akan dipasangkan e-tax pada tiap rumah makan. Baik usaha besar maupun warung makan kecil, yang mana jika tidak memasang e-tax maka akan dikenakan sanksi. Sanksi yang diberlakukanpun tidak main-main, mulai dari pencabutan surat ijin usaha sampai pensegelan rumah makan.
Adanya pajak yang semakin merambah ke usaha-usaha menengah bahkan usaha kecil membuat rakyat semakin menjerit. Dari hasil harian yang didapat belum seberapa dan harus membayar gaji pegawai yang ada, kini harus membaginya lagi dengan kebijakan bayar pajak yang dipasang pemerintah.
Penarikan pajak di negara ini bukanlah hal yang baru. Sudah sejak lama pemerintah memberlakukan pajak mulai dari pajak penghasilan perorangan, pajak bangaunan, jalan, rumah, kendaraan, tanah, hingga usaha-usaha yang dibuka masyarakat. Hal ini tidak lain dimanfaatkan pemerintah untuk menutupi defisit negara akan hutang yang dimiliki.
Dalam aturan Undang-Undang No. 36 tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), tarif pajak penghasilan pribadi seseorang saja, jika mendapatkan penghasilan 50 juta maka akan dikenakan pajak sebesar 5 persen dari penghasilan tersebut setiap tahunnya. Itu baru diambil dari satu orang pribadi saja. Jika orang tersebut sudah memiliki keluarga, maka besaran potongan yang harus dibayarkanpun akan bertambah sesuai dengan jumlah anggota keluarganya. Selain pungutan pajak perorangan, ada lagi pajak rumah yang harus dibayarkan seseorang. Belum lagi kendaraan yang dimilikinya pun tak luput dari lirikan pemerintah dalam meraup kocekan pajak.
Pajak yang diagungkan mampu untuk menjadi pemasukan negara semakin digunakan untuk memeras rakyat secara perlahan. Menurut data pada kementrian keuangan republik indonesia anggaran APBN tahu 2018 mencatat penerimaan perpajakan pada tahun itu sebesar 1.618 triliun. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara (minerba) sepanjang Januari-Maret 2019 sebesar Rp 11,6 triliun.
https://katadata.co.id/berita/2019/04/01/penerimaan-negara-non-pajak-sektor-minerba-capai-268-dari-target
Pemerintah selalu mengatakan bahwa pajak yang dibayarkan rakyat, hasilnya untuk dinikmati rakyat sendiri karena digunanakan dalam membangun negeri. Dan iya, memang benar hal itu. Pembangunan yang dilakukan di negeri ini tidak terlepas dari cucuran keringat rakyat mulai dari pembangunan jembatan, jalan, beasiswa LPDP, bahkan pembayaran utang infrastruktur rakyatpun yang ikut menanggung. Sungguh nampak jelas, bahwa pemerintah telah berlepas tanggungjawab mengurusi masalah negara ini. Bagaikan seorang anak yang harus mengurusi kebutuhan ayahnya.
Hal ini jauh sangat berbeda dengan periayahan di dalam Islam. Pajak bukanlah pemasukan utama bagi negara, pajak hanya diberlakukan jika kas dalam baitul mal benar-benar kosong dan tidak ada pemasukan yang lain selain pajak. Itupun hanya dipungut untuk orang-orang non muslim yang kesejahteraan dan perlindungan hidup mereka dijamin oleh Khilafah. Tidak semua orang-orang non muslim yang dipungut pajak hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi saja.
Dalam Islam, sistem keuangan diatur oleh Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengatur harta yang diterima negara kemudian dialokasikan bagi yang berhak menerimanya. Dan pemasukan dari Baitul Mal sendiri berasal dari pos fa’i, kharaj, jitya, hasil pengelolaan aset kepemilikan umum seperti barang tambangm hutan, dll serta zakat mal, zakat ternak, pertanian juga emasa dan perak. Sehingga pembiayaan untuk mengurusi urusan ummat mulai dari kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan dan sebagainya berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara dan kumpulan zakat.