Oleh: Noviyanti
Kita sudah familiar dengan semboyan ini. Bahwasannya di indonesia semua hal yang dirasa menjadi bahan pertambahan nilai maka dikenakan pajak. Mempunyai barang mewah saja kena pajak. Beli motor dari luar negeri langsung sampai indonesia kena pajak. Setiap tahun kita juga harus pajak tahunan. Beli rumah setiap tahunnya kita juga kena pajak bangunan. Dan kabar terbaru kali ini adalah Pempek dan selembar kantong plastik akan dikenai pajak. Meskipun masih rancangan belum diterapkannya secara utuh.
Usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian paket pempek, baik makan ditempat maupun bungkus dikenakan pajak 10 persen.
"Pendapatan mereka setiap hari kita tau data kongkrit nya jadi nominal pajak yang kita terima valid," kata Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Sulaiman Amin usai memantau pemasangan e-tax di Rumah Makan Pindang Simpang Bandara Palembang, Minggu (7/7).
https://www.gelora.co/2019/07/mulai-besok-pempek-wajib-bayar-pajak-10.html?m=1
Meskipun hanya diterapkan di restoran mewah tetapi pemerintah mempunyai cara pandang berbeda dalam menyikapinya. Menjadikan pajak sebagi sumber pendapatan utama negara. Menjadikan masalah sebagai sumber untuk menentukan hukum. Mengeruk sebanyak-banyaknya pendapatan dari semua lini kehidupan.
Tidak hanya pempek saja bahkan cara pemerintah menaggulangi sampah plastik sebagai instrumen untuk mengendalikan produksi dan konsumsi plastic di indonesia yaitu menetapkannya pajak atas selembar kantong plastik sebesar Rp. 200,-
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190702201427-4-82276/kena-cukai-rp-200-harga-selembar-plastik-jadi-rp-500
Mengapa bisa seperti itu? Menjunjung tinggi ekonomi kapitalis. Dimana sumber pendapatan negara dari pajak . Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2017. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan pajak dan bea cukai pada 2017 ini menunjukkan hasil positif. Pada 2017, penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.339,8 triliun atau mencapai 91 persen dari target di APBN Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp 1.450,9 triliun. Penerimaan perpajakan pada tahun ini memiliki perolehan tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, mengungkapkan, pada 2015, penerimaan perpajakan tercapai 83,3 persen, pada 2016 sekitar 83,5 persen. "Ini merupakan penerimaan tertinggi mencapai 91 persen tertinggi sejak tiga tahun terakhir," katanya saat jumpa pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (2/1/2018).
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/02/184405726/penerimaan-perpajakan-2017-capai-rp-1339-triliun.
Pemerintah selalu mengopinikan pajak untuk kesejateraan rakyat. Tetapi faktanya bukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Lihatlah disekeliling kita masih banyak rakyat yang jauh dikatakan mampu untuk menghidupi keluarganya, Harga bahan pokok yang terus meroket, biaya hidup di kota yang mahal, pendidikan yang tidak lagi gratis. Bukan hanya itu meningkatnya jumlah pengangguran yang terus meningkat. Ini tidak sesuai dengan pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini memuat pengakuan dan jaminan bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]
Sumber pendapatan negara dalam islam antara lain :
1. Zakat
2. infak, sedekah, dan wakaf
3. ghanmah. Ghanmahmerupakan pendatan negara yang didapatkan dari hasil kemenangan dalam peperangan
4. khumus. Khumusatau seperlima bagian dari pendapat ghanmah
5. Fay'adalah sama dengan ghanmah. Namun bedanya, ghanmahdiperoleh setelah menang dalam peperangan. Sedangkan, fay'tidak dengan pertumpahan darah
6. jizyah. Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-Muslim yang mampu
7. harj. Kharj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah yang produktif yang dimiliki rakyat
8. nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum Muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat.
Sudah selayaknya kita kembali kepada hukum Allah SWT. Karena ketika kita berhukum bukan dengan hukum Allah maka kita akan mendapatkan penghidupan yang sempit. Seperti kita yang di Indonesia saat ini mempunyai banyak sumber daya alam tetapi untuk menopang hidup sehari-hari masih belum cukup.