Oleh: Ade Irma
(Aktifis Revowriter)
Pilpres 2019 telah usai dilaksanakan, dengan berbagai carut-marutnya. Masih kuat ingatan kita dengan berbagai kecurangan dalam pemilu, hingga memakan korban yang tak sedikit jumlahnya lebih dari 700 korban jiwa. Bukan hanya disitu mereka sibuk membagi-bagikan kursi jabatan seolah tak peduli dengan nasib rakyat yang sudah di korbankan. Mereka hanya memperdulikan kedudukannya dan partai politiknya. Dan kini bisa kita saksikan pemenang telah ditentukan yang akan memimpin 5 tahun mendatang. Belum sampai disitu kubu yang curang dan menang butuh pengakuan dari kubu yang kalah merasa dicurangi yang disebut-sebut sebagai rekonsiliasi.
Seperti yang dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pertemuan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto wajib disyukuri. Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo hari ini terjadi di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta.
"Hari ini bangsa Indonesia berbahagia. Dua pemimpin besar bertemu dan menjadi simbol bagi terajutnya kembali persatuan bangsa yang sempat koyak karena kontestasi politik," kata Yaqut di Jakarta, Sabtu (13/7).
Pengamat politik menilai pertemuan yang dilakukan Prabowo dan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus beberapa waktu yang lalu, disusul rencana pertemuan Megawati dan Prabowo pada Rabu, 24 Juli tidak lebih sekedar ajang negosiasi untuk mengamankan posisi yang dikemas dalam istilah rekonsiliasi.
Pendiri Kantor Hukum Lokataru Hariz Azhar, menuturkan bahwa pertemuan keduanya kurang tepat disebut sebagai rekonsiliasi, keduanya hanya mencari posisi sama-sama untung, kubu Jokowi menggunakan kata rekonsiliasi untuk menundukkan kubu Prabowo.
Sementara kubu Prabowo menggunakan kata rekonsiliasi dalam rangka mencari keuntungan bagi pihaknya. Ujung dari negosiasi ini hanyalah bagi-bagi kekuasaan, proyek, jabatan dan sumber daya alam. Tidak ada pembicaraan mengenai pemulihan masyarakat yang terbelah “Ujung-jungnya negosiasi, bukan rekonsiliasi,” tandasnya. (tempo.co 13/07/19).
Tidak dipungkiri pilpres 2019 ini terlihat sekali gaung umat Islam bersatu. Seolah tak ada perbedaan antara berbagai kalangan diantara umat Islam. Ukhuwah umat Islam bersatu pertanda umat Islam benar-benar menginginkan perubahan untuk negeri ini. Namun pada faktanya pilpres 2019 telah membongkar hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi, hanya memberi kebebasan bagi Sekulerisme untuk memimpin bukan Islam.
Ketika suara Islam, arus kebangkitan Islam, semangat pergerakan karena landasan Islam ingin mengaktualisasikan diri secara politik, demokrasi langsung memenggalnya. Tak boleh ada celah, apalagi ruang bagi gerakan Islam untuk eksis didalam sistem demokrasi.
Meskipun Prabowo bukan representasi Islam, namun Prabowo didukung penuh suara Islam. Representasi ulama, aktivis Islam, ormas Islam, semangat Islam, bahkan kampanye politik bernuansa Islam, ada dikubu Prabowo.
Sementara kubu sebelah, meskipun konon wakilnya ulama, namun jelas merepresentasikan rezim sekuler, anti Islam, represif, kumpulan Syiah dan LGBT, liberal dan atheis, serta gerombolan partai nasionalis dan yang berlabel Islam, namun membenci Islam, ajaran, dan simbolnya.
Kita bisa buktikan, dalam Pilpres 2019 yang menentukan kemenangan bukan suara pemilih, tapi otoritas lembaga pemilihan. Kita, juga bisa saksikan bagaimana seluruh organ negara telah disulap menjadi Timses menjelang, selama, dan hingga pasca Pilpres.
Jadi, kekalahan kubu Islam dalam Pilpres 2019 bukan karena umat Islam golput, bahkan tingkat keikutsertaan Pilpres tahun ini terbesar. Karena ada aspirasi umat Islam yang ingin segera terjadi perubahan, ikut menyuarakan aspirasi melalui proses politik demokrasi. Nyatanya, suara itu tetap dikalahkan.
Sejak sekarang, sejak saat ini, jangan ada yang menuding elemen Islam golput yang menjadi penyebab kekalahan. Kekalahan Prabowo bukan karena sedikitnya yang memilih, atau besarnya tingkat golput, bukan. Kekalahan Prabowo karena adanya kecurangan.
Jadi, problem utamanya ada pada demokrasi yang menghalalkan curang. Konstitusi negeri ini, implisit juga menghalalkan curang. Terbukti, MK enggan mengadili kecurangan Pilpres, dan hanya fokus pada itung-itungan PHPU. Jadi wajar, Kalau ada pameo yang menyebut MK sebagai Mahkamah Kalkulator.
Sudah saatnya umat Islam bangkit dari tidur panjangnya. Jangan pernah berharap kembali perubahan Islam akan terjadi dengan pemimpin agamis namun masih berjibaku dengan demokrasi. Sudah cukup berbagai luka dalam ini terus menganga. Saat kita gantudengan islam, karena islam adalah agama dan sekaligus ideologi (pandangan hidup) yang mengatur seluruh aspek kehidupan (problem solving). Allah swt berfirman :
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan apakah pada hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan hokum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang menyakini agamanya" (TQS Al-Maidah[5]: 49-50).
Umat Islam Indonesia, sebagai penduduk muslim terbesar dunia, tentunya harus memiliki arah politik sendiri dan berlepas diri dari politik pragmatis. Tidak perlu bermanis muka untuk mengkompromikan segala bentuk kecurangan, karena selamanya antara haq dan batil ibarat minyak dan air yang tidak akan pernah bisa menyatu.
Baginda nabi yang mulia, mencontohkan sebuah sikap konsisten dalam menggenggam kebenaran, ketika diajak oleh para pemuka kafir Quraisy dengan imin-iming tahta, harta dan jabatan agar beliau berhenti dalam memperjuangkan kebenaran dakwah Islam.
Karenanya, sebagai muslim kita wajib mengikuti metode perjuangan yang dicontohkan Rasulullah dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Tahapan pertama, disebut dengan tahapan pembinaan (Tasqif) agar terbentuk individu yang memiliki kepribadian Islam.
Kedua, Tahapan Interaksi dan Perjuangan (Tafa’ul Wa Kifah), merupakan fase interaksi/kontak dengan masyarakat, membersihkan pemikiran masyarakat dari ide-ide kufur, membongkar makar-makar penguasa dzalim dan menentang segala bentuk sistem hidup jahiliyah.
Fase ini merupakan fase terpanjang dan ujian dakwah paling sulit yang dilalui oleh Rasulullah dan para sahabatnya, mulai dari propaganda, pengusiran, penyiksaan, hingga pemboikotan. Meski demikian, keistiqomahan nabi dan para sahabat dalam berdakwah mendapatkan simpati dan dukungan.
Suku Aus dan khazraj memberikan dukungan dan perlindungan terhadap dakwah nabi melalui thalabun nusroh. Dukungan dakwah semakin kuat dan siap untuk memasuki tahapan ketiga, yaitu tahap penerapan syariah Islam secara kaffah (Istilamul Hukmi).
Sejak saat itu daulah Islam pertama di Madinah terwujud, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah sebagai Kepala Negara Islam Madinah ketika itu. Kemudian setelah beliau wafat, estafet kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh kepemimpinan para Khalifah setelahnya.
Sejarah kemenangan Islam pasti akan berulang, karena itu adalah janji Allah dan kabar gembira dari baginda Rasulullah. Dengan menjadikan Islam sebagai Ideologi, yakni pandangan hidup yang melahirkan aturan di segala aspek kehidupan.
Kembali ke aturan Allah yang menciptakan manusia, alam beserta isinya. Dia yang mengetahui segala sesuatu kebaikan untuk penciptanya. Maka tak layak manusia dengan sombongnya membuat aturan yang justru rusak dan merusak. Kembali dengan aturan Islam dalam bingkai Khilafah. Maka keberkahan dan kebahagiaan akan terasa sebab diridhoi oleh Allah.
Wallahu a’lam.
Tags
Opini