Oleh: Hanny Fitriani
(Praktisi Pendidikan)
Kasus kekerasan terhadap anak dan kaum perempuan masih menjadi sorotan dan perbincangan hangat di tengah masyarakat. Dikutip dari cnnindonesia. Com Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas. Yang menyedihkan, sebagian besar dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban seperti pacar, mantan pacar, dan suami.
Sekolah sebagai tempat mengenyam pendidikan akademis, moral dan karakter pun tidak luput dari kasus kekerasan seksual, dilansir dari tempo.co kasus kekerasan seksual pada anak di lingkungan sekolah sepanjang bulan januari hingga juni 2019 adalah sebagai berikut: kasus kekerasan seksual di Sekolah Dasar terjadi di 9 lokasi dengan jumlah korban mencapai 49 peserta didik baik anak laki-laki dan perempuan.
Di tingkat Sekolah Menengah Pertama, kekerasan seksual terjadi di 4 lokasi dengan korban mencapai 24 peserta didik, modusnya beragam dari diimingi uang jajan sebesar 2000 rupiah, dijanjikan nilai bagus hingga diberikan ponsel terbaru. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak anak.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RUU PKS) yang diajukan oleh Komnas Perempuan digadang – gadang sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Dikutip dari www.fimela.com tujuan dari RUU PKS adalah menciptakan paradigma (pola pikir) baru mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan serta penanganan yang dianggap tepat.
Komnas Perempuan selaku penggagas RUU PKS beranggapan bahwa undang-undang yang ada belum optimal untuk menyelesaikan kasus kekerasan pada perempuan. Berdasarkan draf RUU PKS yang dikutip dari website DPR, Senin (29/4/2019), kekerasan seksual terdiri dari 9 jenis, yaitu: 1. pelecehan seksual; 2. eksploitasi seksual; 3. pemaksaan kontrasepsi; 4. pemaksaan aborsi; 5. perkosaan; 6. pemaksaan perkawinan; 7. pemaksaan pelacuran; 8. perbudakan seksual; dan/atau 9. penyiksaan seksual.
Pelecehan seksual dibagi dalam dua kategori, yaitu pelecehan fisik dan pelecehan nonfisik
(https://news.detik.com/)
RUU PKS yang dianggap menjadi jawaban dari keresahan masyarakat terhadap banyaknya kasus pelecehan seksual ternyata menuai pro kontra. Berbagai opini terus bergulir di tengah masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang mendukung namun tak sedikit pula yang menolaknya.
Salah satunya disampaikan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Euis Sunarti, -dalam detik.com, menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) disahkan. Menurut Euis, RUU tersebut seolah melegalkan pelacuran karena tidak mengatur larangan perzinaan dalam RUU PKS itu, "Jadi artinya tidak ada di dalam pasal di RUU (PKS) ini pro-zina, pro-LGBT, tidak ada pasal yang vulgar seperti itu dan nggak mungkin. Tapi Pasal 1 kemudian Pasal 11 diuraikan lagi di pasal-pasal berikutnya itu justru membuka ruang untuk terjadinya pemaknaan seperti itu. Selama itu disetujui, selama itu adalah suka, maka dia tidak menjadi masalah. Nah itu yang kami keberatan," jelasnya.
Beberapa pernyataan yang termuat dalam draft ini dianggap bias makna. Sebagai contoh, makna perkosaan yang dianggap hanya sebatas hubungan seksual antara perempuan dan pria yang dilakukan secara paksa. Maka tindak pidana akan dijatuhkan hanya apabila ada salah satu pihak terkait yang merasa keberatan atau terpaksa sedangkan kerusakan moral yang begitu nyata seperti kasus perzinahan, aborsi, dan pelacuran baik dilakukan secara sukarela maupun terpaksa tidak diberi sanksi atau hukuman yang setimpal.
Selain itu beberapa pernyataan dalam draft RUU PKS menjadi bias gender perilaku seksual dengan sesama jenis selama dilakukan secara sukarela terkesan dilegalkan.
Penerapan syariat Islam secara kaffah adalah solusi tuntas terhadap semua masalah kekerasan terhadap perempuan dan pelindungan terhadap hak – hak perempuan dengan memuliakan keberadaannya.
Penerapan syari’at Islam berarti, menjadikan ‘aqidah Islam sebagai dasar negara, dan aturan Islam sebagai aturan yang mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Penerapan syari’at Islam mutlak memerlukan peran sinergis antara rakyat, kelompok, dan negara dengan mewujudkan ketaqwaan antara individu, ketakwaan kelompok (masyarakat) dan ketakwaan negara (baitul-khair.or.id/).
Allaahu a'lam bi ash-shawab.
Tags
Opini