Oleh: Gati Margati
Zonasi sekolah yang kini menjadi trend topik di media, membuat kegaduhan yang luar biasa dan meluas secara nasional. Zonasi membuat orang tua/wali murid resah terhadap nasib anak-anaknya, apakah diterima di sekolah negeri yang diinginkan atau tidak? Bahkan beberapa info yang didapat dari seorang pengajar SMPN 6 Cimahi menyatakan bahwa dengan zonasi membuatnya iba kepada anak-anak yang mulai daftar tahun ini karena jumlah calon siswa didik meningkat tapi tempat/fasilitas sekolah yang ada di Cimahi tidak memadai.
Ditambah lagi pengakuan seorang ibu yang mengatakan bahwa anaknya tidak mau sekolah apabila tidak masuk ke sekolah yang diinginkan, tak sedikit yang kecewa, sedih bahkan terus-terusan menangis karena nilainya tinggi tapi tak bisa masuk ke sekolah yang diharapkan karena zonasi ini. Meski siswa memiliki nilai akhir sekolah yang tinggi tapi tetap tak bisa menjamin siswa lolos ke sekolah yang diharapkan/favorit karena zonasi menjadikan jarak tempuh sebagai acuan bukan nilai lagi yang dilihat.
Presiden Joko Widodo menyoroti banyaknya keluhan terkait penerapan sistem zonasi sekolah di sejumlah daerah. Sementara itu, Gubernur Jawa Barat (Ridwan Kamil) ternyata juga merasakan dampak dari sistem zonasi tersebut. Tahun lalu, anak keduanya Camillia Laetitia Azzahra terpaksa bersekolah di SMP swasta lantaran terkena sistem zonasi PPDB. Jokowi mengakui banyak permasalahan yang perlu dievaluasi dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini dibanding dengan sebelumnya. Adapun di beberapa wilayah yang akhirnya kekurangan siswa karena sistem zonasi PPDB tersebut, ditambah lagi dengan tuntutan yang dilakukan oleh orang tua murid yang tergabung dalam Komunitas Orang Tua Peduli Pendidikan Anak (KOMPAK) seperti dilansir dalam Kompas.com "...Aksi protes terkait penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi, muncul di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu (19/6/2019). Ratusan wali murid yang tergabung dalam Komunitas Orang Tua Peduli Pendidikan Anak (KOMPAK) meminta pemerintah menghentikan proses PPDB dan mendesak Mendikbud Muhadjir Effendy segera dicopot. Hal ini tentu menunjukan bahwa sistem zonasi PPDB ini membawa pada permasalahan yang luas. Bukan sekadar dilema orang tua tapi para siswa yang mempunyai keahlian dengan jalur prestasi, juga siswa yang memiliki nilai tinggi karena kecerdasan pada akhirnya frustasi karena efek dari sistem zonasi ini.
Sistem ini seolah-olah memunculkan ketimpangan dan rasa tak dihargai atas perjuangan yang sudah mereka raih. Ketika ada atau banyak siswa yang pada akhirnya tidak masuk setelah mendaftar karena kuota sudah penuh padahal memenuhi syarat zonasi, apa yang harus dilakukan? Masuk swasta? Bagaimana jika siswa tersebut adalah siswa yang tergolong tak mampu. PPDB sistem zonasi memang dianggap baik untuk memenuhi unsur pemerataan pendidikan, namun kondisi saat ini, infastruktur sekolah masih minim, sementara anak didik semakin banyak. Pertanyaannya, pemerataan dengan zonasi, bisakah?
Munculnya sistem zonasi diawali oleh keinginan pemerintah untuk menghilangkan kasta pendidikan, tak perlu ada lagi sekolah favorit dan non favorit. Demi mewujudkan keadilan pendidikan maka setiap siswa berhak sekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya. Jadi anak-anak yang pintar secara akademis akan terdistribusi merata, berbaur dengan yang lain tidak fokus berkumpul di sekolah favorit. Di sinilah terwujud pemerataan pendidikan. Keinginan yang bagus sebenarnya, sayangnya hal itu tak dipersiapkan dengan baik. Hasilnya adalah kegaduhan luar biasa. Orang tua melakukan segala cara agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang dituju. Dampak buruk dari zonasi pada akhirnya tak sedikit orang tua murid melakukan banyak tindak keburukan seperti menyuap oknum panitia PPDB, pura-pura miskin dan lain sebagainya.
Kisruh zonasi ini berpangkal pada masalah tidak meratanya sekolah di Indonesia, baik dari sisi jumlah, kualitas, dan lokasi. Dari sisi jumlah masih banyak daerah yang kekurangan sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan fasilitas yang kurang lengkap. Begitu pula permasalahan lokasi sekolah yang dari segi jarak sulit dijangkau, termasuk ketersediaan transportasi. Penyebaran sekolah pun tidak merata. Ada beberapa sekolah negeri yang berjajar di pusat kota dan menjadi favorit, tapi dipinggiran kota jumlahnya sedikit. Bahkan ada daerah daerah yang terkategori 'blank spot' karena tak masuk zonasi manapun. Karena itulah sistem zonasi bukanlah solusi dari pemerataan pendidikan tapi sebaliknya menjadi problem bagi masyarakat.
Konsep dalam pendidikan itu harus jelas sehingga terwujud pendidikan yang sama secara menyeluruh. Keadilan bukan sekadar kata-kata tapi harus diwujudkan melalui sebuah sistem yang paripurna. Sistem Islam memiliki konsep berbasis aqidah Islam, sehingga menuntut ilmu bukan sekadar urusan dunia saja tapi hal itu merupakan urusan akhirat yang kekal. Adapun bukti keberhasilan sistem Islam dalam menyediakan pendidikan adalah apa yang disampaikan oleh Jacques C Reister cendekiawan barat tentang Khilafah yakni selama 500 tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi. Khilafah adalah sebuah sistem yang telah ditetapkan oleh Al khalik (pencipta) bagi keberlangsungan hidup manusia untuk selalu dalam kebaikan di dunia dan akhirat.
Allah swt adalah Sang Pembuat aturan dan hukum yang sempurna, tidak akan memunculkan kegaduhan, kerusakan dll. Begitulah Allah menetapkan sistem Islam. Begitupun sistem pendidikan dalam Islam diambil melalui kurikulum yang berkualitas tinggi karena bersumber dari wahyu illahi. Negara memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengurus masyarakat, sehingga pendidikan bisa diakses oleh semua orang dengan mudah. Bahkan bagi masyarakat pedalaman yang berpindah-pindah tempat, maka negara akan menyediakan guru yang mendatangi mereka. Karena pendidikan adalah hak rakyat maka diberikan secara gratis, tak ada cerita siswa putus sekolah karena tak ada biaya.
Dari mana kemudian sistem Islam mampu menciptakan pendidikan gratis? Dana pendidikan diambil dari pengelolaan kekayaan alam semisal hasil tambang, laut, hutan, dan sebagainya yang hakikatnya adalah kepemilikan umum yang merupakan milik seluruh rakyat. Jadi, mengenai zonasi ini dalam Islam murid berhak sekolah di mana pun yang mereka inginkan karena semua sekolah telah memenuhi standar. Oleh karena itu, tak perlu terjebak dengan pilihan zonasi atau tidak karena hal itu adalah masalah cabang. Saat ini kita harus menyelesaikan permasalahan pendidikan khususnya di negeri kita secara tuntas dengan sistem Islam yakni Khilafah, keshahihannya terjamin dan keberhasilannya telah teruji.
Wallahu ‘alam...