Oleh : Irayanti
(Pemerhati Sosial)
Bagai tersambar petir di siang bolong. Itulah yang dirasakan keluarga korban pelecehan seksual oleh Neil Bantleman. Theresia, ibunda korban siswa JIS yang dilecehkan, ia heran tidak pernah dikirimi surat oleh pengadilan tentang grasi itu. Tiba-tiba saja ia mendengar bahwa pelaku pelecehan seksual anaknya telah bebas karena grasi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyesalkan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada warga Kanada, Neil Bantleman, terpidana kasus pelecehan seksual siswa Jakarta Internasional School (JIS) yang kini menjadi Jakarta Intercultural School (JIS).
Alur Problem Pedofil diberi Grasi
Pada April 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Neil Bantleman. Vonis itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada Agustus 2015. Baru menghirup udara bebas beberapa bulan, Neil kembali harus menghuni penjara. Sebab, pada Februari 2016, Mahkamah Agung memutuskan Neil bersalah dan menghukuminya 11 tahun lamanya. Namun, pada 19 Juni 2019 yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13/G hukuman untuk Neil hanya menjadi 5 tahun dan 1 bulan penjara serta denda Rp.100 juta.
Berdasarkan UU No, 22 Tahun 2002 tentang grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Kendati begitu, pemberian grasi tak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Dikemukakan oleh Kepala Bagian Humas Ditjen PAS, Ade Kusmanto saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com (12/07/2019) mengatakan bahwa Neil sudah bebas dari Lapas Kelas 1 Cipinang tanggal 21 Juni 2019, karena mendapat grasi dari Jokowi. Neil kemudian diserah terimakan kepada pihak imigrasi dan langsung dikembalikan ke negara asalnya. Sementara rekan Neil, Ferdinand Tjiong yang juga divonis bersalah atas kasus pelecehan siswa di JIS masih di tahan.
Grasi Pedofil Tidak Manusiawi
Sementara pihak korban pelecehan pernah melakukan gugatan perdata satu tahun lalu. Namun, gagal dan sangat geram dengan adanya pemberian grasi oleh presiden. Bahkan yang paling mengecewakan adalah grasi tersebut tidak diketahui sebelumnya oleh pihak keluraga korban. Mereka hanya mendapatkan informasi dari televisi, bahwasannya Neil diberi grasi dan telah pulang ke Kanada. Theresia heran, karena bila Neil diberikan grasi artinya dia mengaku bersalah. Berarti pemberian grasi ini kontraproduktif. Perlu di ketahui dengan pemberian grasi ini menambah lembaran hitam terhadap upaya perlindungan anak di Indonesia.
Kuasa hukum keluarga korban pedofilia, Tommy Sihotang saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan (19/07/2019) mengatakan anak korban dari Neil masih trauma. Dia sudah merusak seorang anak dan berbelit-belit tidak mengakui perbuatannya waktu kasasi hakim memperberat hukumannya satu tahun. Dengan adanya grasi ini, keluarga korban merasa kecewa. Tidak menyangka seorang pedofil seperti itu dapat pengampunan. Saya kira seluruh dunia orang beradab itu setuju kejahatan yang paling memuakkan adalah pedofilia. Begitu kami tahu pedofil itu mendapat grasi, kami buat surat ke presiden langsung. Tolong dong perhatikan anak bangsa ini. (Republika.co.id,20/07/2019)
Miris. Seorang pedofil mendapat grasi, namun berbanding terbalik dengan nasib Baiq Nuril, seorang guru honorer yang dilecehkan meminta grasi namun belum mendapat kepastian. Pemberian grasi kepada pelaku pedofilia Neil, didalihkan dengan kemanusiaan. Maka manusiawi kah, jika membebaskan seseorang yang telah merusak generasi negeri ini?
Maka nyatalah dengan jelas terlihat negeri ini tidak bersungguh-sungguh melindungi orang-orang yang terlecehkan. Inilah cerminan sistem buatan manusia. Sangat bobrok!
Kembalilah ke Islam, Solusi Pasti
Akar masalah segala permasalahan di atas adalah sistem demokrasi yang telah lama mengakar di negeri ini. Di mana suara manusia lebih tinggi daripada suara Tuhan. Sehingga tidak melihat lagi mana yang benar dan salah tetapi mana yang berkepentingan adalah patokannya. Jika kita cermati, tidak ada keuntungan bagi Indonesia untuk memberi grasi kepada pelaku pedofilia. Namun, anehnya pemerintah abai lalu memberi grasi. Jika kita berkaca pada sistem Islam maka sangat jelas mencegah dan melindungi orang yang dilecehkan.
Sejarah telah mencatat kisah heroik seorang khalifah Muhammad bin Harun Al-Rasyid, yang bergelar Al-Mu’tasim Billah membebaskan seorang muslimah yang jilbabnya disingkap oleh orang-orang Romawi. Di dalam hukum Islam, segala bentuk hubungan seksual di luar hubungan pernikahan adalah bentuk pelanggaran yang menimbulkan dosa besar. Sanksinya di cambuk atau di rajam. Meski termasuk dalam kategori zina, kasus pedofilia ini pada umumnya melibatkan orang dewasa sebagai pelaku dan anak-anak sebagai korban. Dalam Islam ada namanya hukuman ta’zir yaitu hukuman yang dikembalikan kepada hakim. Maka pedofilia ini bisa terkena hukuman ta’zir.
MUI dahulu pernah mengatakan untuk menghukum seberat-beratnya pelaku pedofilia. Yang mana sanksinya diserahkan kepada pemerintah. Namun apa yang terjadi, diberi grasi. Miris. Itulah mengapa perlulah kita kembali berhukum dengan hukum Islam. Karena berhukum dengan hukum buatan manusia hanya akan menimbulkan ketidakadilan, ketidakmanusiaan atau tidak mewujudkan keadilan sebagaimana yang tercantum pada sila pancasila itu sendiri.
Wallahu a’lam bishowwab