Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Member Komunitas Menulis Revowriter)
Perang terhadap pornografi di internet tak kunjung usai. Padahal, di 2018 lalu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) rajin melakukan aksi blokir, termasuk pada pemain-pemain besar. Pada bulan Maret 2018, misalnya, Kominfo resmi memblokir Tumblr. Lantas, empat bulan berselang, giliran TikTok yang bernasib serupa (tirto.id,11/7/2019).
Selain diperangi pemerintah, pornografi pun diperangi para pemilik platform. Google, misalnya, memiliki fitur bernama SafeSearch guna membendung kata kunci berbau mesum yang menghasilkan hasil pencarian yang relevan. Pada Agustus tahun lalu, fitur ini secara aktif bagi seluruh pengguna internet Indonesia.
Lalu, ada pula Facebook. Media sosial sejuta umat ini, sejak Maret 2019, mempekerjakan artificial intelligence (AI) untuk mendeteksi. Kerja Facebook memerangi pornografi itu merupakan perluasan dari apa yang mereka lakukan pada Oktober 2018. Kala itu, tujuannya adalah untuk membendung pornografi anak berkembang biak di Facebook.
Bukannya berhenti, justru bisnis pornografi makin berkembang, bergerak lancar bak aliran air. Sasaran berikutnya adalah twitter.
Mencari konten pornografi di Twitter bukanlah hal yang sukar dilakukan. Kuncinya ada di kolom pencarian. Dari kolom itu, pengguna tinggal memasukkan kata-kata mesum nan cabul apa pun. Twitter memang tidak memblokir penggunaan kata-kata mesum dan cabul di sistem pencariannya. Dari kata mesum yang diketikkan, Twitter lantas memberi hasil pencarian berupa konten-konten pornografi di platform-nya.
Beberapa bahkan menampilkan video mesum berdurasi sekitar 2 menit. Dan dari hasil pencarian yang diberikan Twitter pula, pengguna dapat diarahkan pada pengguna Twitter yang setiap hari mengunggah konten pornografi. Parahnya, segala konten pornografi yang ada di Twitter dapat diakses tanpa virtual private network (VPN) ataupun harus meregistrasi diri di Twitter.
Betapa sulitnya menghilangkan pornoaksi dan pornografi di jagad media sosial. Padahal dampaknya di dunia nyata sudah sangat parah, kerusakan masyarakat dan tindak kriminal sebagai akibat ketagihan media sosial dan khususnya konten porno ini tak bisa dipandang sepele.
Kemudahan mengakses media sosial dan lemahnya penegakan sanksi hukum turut menyumbang kerusakan. Terutama kerusakan generasi mendatang.
Faktanya memang di era hari ini, jaringan sosial, tak hanya menghubungkan manusia dari berbagai tempat, tapi juga memunculkan topik-topik baru, baik yang beradab maupun menyimpang. Contohnya adalah topik terkait kekerasan atau pornografi yang pada akhirnya menciptakan “deviant network” atau “jaringan menyimpang”.
Salah satu jaringan menyimpang itu adalah maraknya konten-konten pornografi diramaikan oleh pengguna yang ia sebut “produser", sosok pengguna yang secara aktif mengunggah konten pornografi. Juga ada “konsumen”, sosok pengguna yang tidak mengunggah konten pornografi namun menjadi pengikut produser.
Makin kesini, konten pornografi yang ditransaksikan di media sosial bukan hanya antara produsen-konsumen belaka. Namun karena hari ini media sosial berbasis kemudahan dan kebebasan akhirnya memunculkan pengguna yang dipaksa mengkonsumsi pornografi di media sosial. Dan itu lebih besar peluangnya pada anak-anak, terutama dari penggunaan game online.
Inilah alasan mengapa pemerintah kita masih belum sukses mengenyahkan akun-akun pornografi. Karena dalam sistem kapitalis hari ini, pornografi adalah komoditas. Kapitalis didukung erat oleh liberalisme, yaitu kebebasan tanpa batas. Dan aturan dalam kehidupan sosial hanyalah muncul dari manusia. Mengingkari campur tangan Sang Pencipta. Maka mendewakan syahwat adalah sah, selama masih ada penawaran dan penerimaan maka hal ini akan sulit dihindari.
Pemerintah akan mengalami kendala jika terus menggunakan paradigma yang keliru terkait pornografi. Dan dalam sistem kapitalis yang melingkupi cara berpikir para penguasa hari ini, menjadikan pornografi sebagai komoditi. Padahal dalam Islam pornografi nyata-nyata dilarang oleh Allah . Sebagaimana termaktub dalam ayatnya Quran surat 16:90, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Pornografi online bisa diserupakan dengan zat ataupun perilaku adiktif lainnya, dimana ia memberikan efek yang fatal pada titik sensitif otak yaitu sistem reward (reward center). Sistem ini berfungsi salah satunya untuk mengatur rasa senang, sehingga jika ada stimulan yang mengaktifkan bagian ini, maka manusia akan merasakan kesenangan, dan ingin terus mengulang lagi.
Beginilah jadinya jika kita belum memiliki junnah (perisai) yang akan berdedikasi melindungi rakyat dari kerusakan akal, tak adanya perlindungan jiwa, nashob dan lain-lain. Junnah itu adalah Khilafah, yang sah secara syara sebagai satu-satunya penerap hukum syariat Allah. Yang akan menuntaskan persoalan pornografi secara tuntas. Mulai dari menegakkan ketakwaan individu rakyat tidak saja perorang namun juga dalam kehidupan berjamaah dan bermasyarakat.
Khilafah juga akan mengadopsi teknologi baik invensi maupun inovasi tercanggih terkait interaksi masyarakat, mulai dari interaksi di dunia maya maupun dunia nyata. Tak ada istilah lagi negara mengalami jalan buntu, karena seluruh aspek kehidupan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan diatur oleh syariat.
Wallahu a'lam biashowab.