Pendidikan Berkualitas Tanpa Utang, Mungkinkah?



Oleh: Arin RM, S. Si
(Pegiat TSC, Freelance Author)

Setiap kita pasti sepakat bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting. Islam pun memandang sama. Bahkan Islam menempatkan menuntut ilmu, yang merupakan bagian dasar dari diselenggarakannya pendidikan sebagai kewajiban. Rasulullah bersabda: ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224).

Dari hadist tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk mencapai derajat terdidik, seseorang harus mengawalinya dengan menuntut ilmu. Yang mana hukum nya adalah wajib. Berangkat dari kerangka wajibnya pendidikan bagi setiap muslim ini, maka Islam sejak di masa Rasulullah mengutamakan urusan pendidikan. Bahkan menjadikan negara berperan langsung dalam pelaksanaannya. Kisah Rasulullah menjadikan syarat pembebasan tawanan perang Badar dengan kewajiban mengajar 10 anak kamu muslimin adalah contohnya. Pada masa sesudah beliau, kewajiban penyelenggaraan pendidikan oleh penguasa  masih dilanjutkan. Semuanya dilaksanakan dalam rangka menjadikan setiap rakyat terdidik dengan ilmu. Dengan ilmu, generasi terbaik umat Islam terdahulu telah berhasil menguasai dunia, sekaligus mendapatkan kebaikan akhirat. 

Di masa lalu, proses belajar mengajar tidak harus dilakukan di sekolah sekolah formal, belajar bisa dilakukan di masjid atau di tempat lain yang memungkinkan ilmu bisa disampaikan. Pada zaman Nabi SAW dan para Khulafa' Rasyidin setelahnya, masjid Nabawi telah dijadikan sebagai tempat belajar. Nabi membentuk halqah ilmu, demikian juga para sahabat. 

Al Imam Al Yusi, dalam kitabnya, Al Qanun, menuturkan bahwa model penyampaian ilmu seperti sekarang sebenarnya bersumber dari praktik Nabi yang dilakukan kepada para sahabat Baginda di majelis-majelis ilmu. Ketika itu, masjid menjadi pusat belajar-mengajar. Umar menuturkan, "Barangkali orang yang masuk masjid, bisa diumpamakan sebagai kuda yang berhamburan. Jika dia melihat majelis kaumnya dan melihat orang yang dia kenal, maka dia duduk bersamanya." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/152). Hingga sekarang di Masjid Nabawi maupun Masjid Al Haram, halqah ilmu ini masih berjalan.

Seiring perkembangan, Islam mulai mengonsep pengembangan pendidikan dengan menyediakan infrastruktur pendidikan kelas satu untuk seluruh rakyatnya. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai. KH. Hafidz Abdurrahman pernah menuliskan bahwa pada zaman Abbasiyah, Al Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khilafah, menyatu dengan masjid. Di sana juga dibangun perpustakaan. Pendidikan tinggi pertama pada zaman itu adalah Bait Al Hikmah, yang didirikan oleh Al Ma'mun (830 M) di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515).

Menariknya, pendidikan berkualitas kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Islam bukanlah isapan jempol dikarenakan Islam memandang bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara.  Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR al-Bukhari). Atas dasar itu, negara harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah. 

Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.  Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan  gaji kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara di seluruh strata pendidikan.  Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setiap bulan.  Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Islam diambil dari Baitul Mal. Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat.

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.

Kematangan konsep pendanaan pendidikan Islam ini sangat berbeda dengan yang diterapkan kapitalisme saat ini. Kapitalisme memandang pendidikan sebagai salah satu aset mencetak generasi yang akan melanjutkan gerak roda perekonomian. Sehingga arah pendidikan beserta pembiayaan boleh dipegang oleh swasta yang berkepentingan dengan kompetensi lulusan yang dimau. Walhasil banyak pendanaan pendidikan yang dimasuki swasta. 

Yang terbaru laman cnnindonesia.com (28/06/2019) menuliskan bahwa Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$250 juta atau setara Rp3,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp14 ribu per dolar AS) untuk mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia. Sontak hal ini menimbulkan komentar dari berbagai kalangan. Sebab sudah rahasia umum jika Barat memegang teguh prinsip "no free lunch".

Maknanya besar kemungkinan akan ada sesuatu yang diminta untuk dilakukan. Dan yang paling dikhawatirkan adalah jika kurikulum disesuaikan dengan selera pemberi pinjaman. Bisa muncul kemungkinan atas nama deradikalisasi dalam hal pendidikan, kurikulum akan dibuat menurut selera sekuler. Akhirnya muncul potensi pengikisan ajaran Islam jika demikian. Semuanya dapat dimaklumi, sebab penerima utang biasanya akan dikendalikan pemberi pinjaman. Oleh karenanya tidak ada salahnya jika kehebatan sistem Islam menggarap pendidikan secara mandiri di atas ditiru untuk diwujudkan. Dengan begitu pendidikan berkualitas tanpa mengandalkan utang bisa menjadi kenyataan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak