PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA KE KALIMANTAN




Oleh : Nurul Afianty, SP (Aktivis Muslimah)


Wacana pemindahan ibukota Indonesia ditanggapi beragam dan diwarnai pro-kontra di masyarakat.  Sejak digagas pertama kali pada era Soekarno, pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo tampaknya benar-benar serius untuk memindahkan ibukota Indonesia ke luar Jakarta. 

 Keseriusan ini terlihat dalam acara seminar yang disiapkan jajaran Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).  Kementerian tersebut bertugas mengkaji rencana pemindahan ibukota ini.  Menteri PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro memastikan bahwa rencana ini akan dilaksanakan karena wacana pemindahan ibukota Negara telah dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045.  Presiden Jokowi pun beberapa kali terlihat mengunjungi sejumlah lokasi di Kalimantan yang disinyalir sebagai kandidat ibukota.

  Namun, menurut pengamat perkotaan, Rendy A. Diningrat, ia menilai rencana pemerintah kurang matang karena logika di balik 2 (dua) alasan yang dipakai untuk memindahkan ibukota ke luar Jakarta, yakni pemerataan pembangunan dan ekonomi, masih lemah (Kompas.Com/28 Mei 2019).

Saat ini, terdapat 2 lokasi yang menjadi kandidat kuat ibu kota baru, yaitu di kawasan bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dan Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah (Kompas.Com/10 Juli 2019).

Imajinasi Pemerataan Pembangunan dan Ekonomi

Pemerintah melihat perlunya memindahkan ibukota ke luar Jakarta (Jawa) karena hal ini akan mendukung pemerataan pembangunan ke kawasan timur Indonesia.  Data BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di Pulau Jawa menyumbang 58,48 % PDB Indonesia.  Adapun wilayah timur Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua) yang mencapai 64 % dari total luas Indonesia, hanya menyumbang 16,8 % PDB.  Situasi tersebut relative tidak jauh berubah sejak 2010.  Namun, alasan ini menjadi bermasalah bila menganggap bisa mengatasi kesenjangan hanya dengan memindahkan ibukota.  Dari segi penataan ruang, pemerataan pembangunan dapat diwujudkan dengan merekayasa struktur ruang.  Ini dilakukan dengan mendesain system kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebar ke seluruh wilayah.  Pemindahan ibu kota ke luar Jawa tidak cukup karena pemerintah perlu mendistribusikan lebih banyak lagi pusat pertumbuhan baru dan peluang ekonomi di luar Jawa, khususnya wilayah timur Indonesia. Dengan demikian, pembangunan yang merata akan menjamin pertumbuhan ekonomi (Kompas.Com/28 Mei 2019).

Motif di Balik Pemindahan Ibukota

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengakui, rencana pemindahan ibukota bermuatan politis.  Bambang menjelaskan, Jakarta dipilih sebagai ibu kota Indonesia merupakan pilihan Belanda yang saat menjajah Indonesia.  Atas dasar itu, pemerintah ingin membangun ibu kota baru yang dibangun dan dipilih oleh bangsa sendiri. Yang nantinya ibu kota baru dibangun di wilayah yang benar-benar baru.

Terkait pembiayaan, ia juga memastikan, pembangunan ibu kota baru tidak akan tergantung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini, kata dia, sekaligus akan membuat APBN tidak terbebani sehingga peluang pemerintah mencari pendanaan dari utang akan mengecil. Sehingga APBN-nya tidak mengganggu prioritas lain dan tidak diarahkan untuk utang (Kompas.Com/26/6/2019).

 Pemerintah juga tidak akan membuat utang khusus hanya untuk membangun ibu kota.  Bambang mengatakan, pemerintah akan membuka diri kepada BUMN atau swasta untuk ikut membangun ibu kota baru. Namun, ia menegaskan dana dari BUMN atau swasta bukanlah utang namun bersifat investasi yang menguntungkan para investornya. Jadi artinya nanti setiap investor itu akan mendatangkan manfaat dari investasi yang dia lakukan di ibu kota baru, Pemerintah membagi porsi pembiayaan menjadi 3, yakni pembiayaan dengan dana milik pemerintah lewat APBN sebesar Rp 30,6 T, BUMN lewat KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) sebesar Rp 340,6 T dan swasta lewat skema Kerjasama Pemanfaatan (KSP) sebesar Rp 95 T.  Secara keseluruhan dana yang dibutuhkan sebesar Rp 446 triliun. Bambang mengatakan, dana APBN tersebut diperuntukkan dalam pembangunan yang memakan waktu selama lima tahun.

Kapitalisme yang telah jelas wataknya, semakin terlihat pada proyek pemindahan ibu kota ini.  Para penguasa wilayah yang terpilih menjadi kandidat, berlomba-lomba menampilkan bahwa wilayahnya lah yang layak untuk menjadi ibu kota baru.  Dengan harapan jika terpilih, maka akan terjadi pemerataan pembangunan di wilayahnya.  Sesungguhnya, kapitalisme lah yang menjadi sebab tidak meratanya pembangunan di negeri ini.  Pembangunan hanya tersentral pada pusat ibukota yang lama.  Sehingga wajar, ini dijadikan kesempatan bagi penguasa wilayah agar pembangunan di wilayahnya dapat terealisasi.  Berikutnya, pembangunan yang direncanakan akan melibatkan pihak swasta (local maupun asing), bukan murni dari pemerintah saja.  Inilah yang harusnya diwaspadai.  Karena intervensi asing jelas akan berperan di dalamnya.  Apa jadinya jika ibu kota yang baru dibangun dengan keterlibatan pihak asing. Jawabannya jelas, ibu kota yang baru tidak akan menjadi ibu kota yang mandiri.  Kepentingan asing akan bermain di dalamnya. Segala cara akan mereka tempuh untuk merealisasikan tujuannya. Di samping itu, akan ada dampak dari intervensi asing tersebut.  Mereka akan semakin bebas bisa mengeruk kekayaan SDA yang ada di wilayah yang sejatinya adalah milik umat.  

Tatanan ekosistem dan lingkungan juga akan terdampak.  Peradaban barat mau tidak mau akan mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat yang mendadak menjadi masyarakat kota metropolitan.  Siapa yang bisa mencegahnya, kalau bukan penguasa?  Jika tidak, maka jelas inilah bukti bahwa penguasa hari ini telah gagal menjalankan tugasnya.

Perpindahan Ibu Kota dalam Kekhilafahan

Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibukota negara.  Namun alasan utama saat itu semua adalah politik.  Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah.  Damaskus saat itu sudah menjadi ibukota kekaisaran Byzantium.  Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad.  Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia.  Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo.  Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir’aun.  Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia.  Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantine.  Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanyalah Baghdad.

Pada 30 Juli 762 M, Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad. Al-Mansur percaya Baghdad adalah kota yang akan sempurna menjadi ibukota Khilafah. Modal dasar kota ini, lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklim yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibukota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.

Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa. Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota. Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota.

Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 kilometer. Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.

Sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi dibawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita sehingga rawan tindak kejahatan.

Yang pasti, pemindahan ibu kota tetap memerlukan perencanaan yang luar biasa.  Pemindahan itu harus optimal dari sisi kota yang dibangun, kota yang ditinggalkan, selama transisi, semua urusan pelayanan rakyat tidak boleh terganggu.  Lalu setelah pemindahan selesai, efisiensi pemerintahan harus meningkat.

Dalam Islam, posisi ibukota negara menjadi penting, karena di sanalah Khalifah dan seluruh perangkat negara dipusatkan dan beraktivitas. Namun, di mana pun kedudukan ibukota,, yang lebih penting lagi adalah aturan yang diterapkan untuk seluruh masyarakat berlandaskan pada Islam. Begitupun kekuatan negara, seluruhnya berada dalam tangan kaum muslimin. Sehingga seluruh kendali pengurusan urusan umat tetap di tangan Khalifah, di manapun posisi ibukota negara. Tidak melihat sisi untung rugi secara ekonomis, apalagi mengacu pada arahan negara asing.

Dengan demikian, negara seharusnya bertindak adil dalam masalah pembangunan dan mengatur supaya pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayahnya bisa merata, selama wilayah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaannya.  Tidak membedakan lagi antara wilayah yang satu dengan yang lainnya. Karena itu negara tidak boleh abai terhadap permasalahan ini. Agar tujuan untuk meratanya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.


Wallahu ‘alam.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak