Oleh: Ade Irma
(Aktivis Revowriter)
Masih kuat ingatan kita akan berbagai carut-marutnya pemilu tahun 2019. Berbagai kecurangan terjadi, bahkan sampai memakan korban yang tak sedikit jumlahnya ratusan orang dan ribuan anggota KPPS yang jatuh sakit. Dan terkait masalah ini masih menjadi polemik. Belum lagi masalah persengketaan antara kudu O1 dan kubu 02 yang merasa dirugikan karena ada berbagai kecurangan. Hingga permasalahan ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi akhirnya menetapkan bahwa kubu 01 yaitu Jokowi dan Ma’ruf Amin menjadi pemenang dalam pemilu 2019.
Belum sampai rakyat bernafas lega akibat berbagai carut-marutnya pemilu tahun 2019. Kini, mereka berebut kursi kekuasaan. Semua parpol pengusung sibuk mengusulkan nama pengusungnya untuk menduduki kursi empuk kekuasaan.
Dilansir dari situs kumparan.com PKB telah mengusulkan 10 nama menteri ke Jokowi. Terkait hal ini, Wasekjen Golkar Maman Abdurrahman menilai, usulan PKB itu adalah hal yang biasa.
Ia menyerahkan komposisi menteri sepenuhnya kepada Joko Widodo sebagai presiden terpilih. Ia menyebut komposisi menteri merupakan hak prerogatif Jokowi.
"Kalau sampai 20 juga tidak apa-apa. Namanya juga usulan yang tentunya semuanya akan kembali kepada hak prerogatif presiden," kata Maman kepada kumparan, Rabu (3/7).
Namun demikian, Maman tetap memberikan catatan bahwa semua harus dipertimbangkan dengan proporsional dan melihat berbagai macam pertimbangan. Salah satunya pertimbangannya adalah perolehan kursi di parlemen dan komitmen Golkar mendukung Jokowi, jauh sebelum Pilpres 2019 digelar.
Sebagaimana diketahui, Golkar adalah peraih suara terbesar ketiga dan peraih perolehan kursi terbanyak kedua setelah PDIP di Pileg 2019 ini.
"Contoh, Partai Golkar adalah partai yang pertama kali mendukung penuh pencapresan Pak Jokowi jauh sebelum partai-partai lain mendukung, dengan alasan untuk memberikan kepastian masa depan dan jaminan politik kepada Pak Jokowi agar bisa lebih tenang bekerja dan menjalankan program-program pemerintah," jelasnya.
Pada masa kampanye Jokowi pernah berjanji tidak akan bagi-bagi kursi kekuasaan. Komitmen presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak bagi-bagi kursi dalam kabinet mendatang dipertanyakan setelah memberi jatah 16 kursi menteri untuk kader partai politik. Jokowi dianggap mulai mengikuti arus politik.
"16 kursi untuk parpol jelas bagi-bagi kursi kekuasaan. Bahasa koalisi ramping dan kabinet ramping ternyata tidak bisa dia diterapkan," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio kepada Kompas.com, Selasa (16/9/2014) siang.
Hendri menjelaskan, saat ini Jokowi telah masuk ke dalam realitas politik yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Jokowi, kata dia, tidak bisa menghadapi realitas tersebut sehingga terbawa kedalam arus.
Menyaksikan fenomena pemilu dari tahun ke tahun bagi-bagi kursi empuk kekuasaan sudah menjadi tradisi dan hal yang biasa walaupun presiden terpilih menyatakan menolak adanya tradisi bagi-bagi kursi kekuasaan tersebut.
Dalam demokrasi tidak ada teman sejati, tidak ada lawan yang abadi, tapi yang ada adalah kepentingan abadi. Inilah wajah bobrok demokrasi mengesampingkan kepentingan rakyat dan mendahulukan kepentingan kelompok dan partai. Rakyat hanya bisa gigit jari akan segala kebijakan yang mencekik. Berbagai problematika rakyat takkan pernah terselesaikan sebab pemimpin hanya akan mendahulukan kepentingannya dan kepentingan pemodalnya. Rakyat hanya berilusi untuk mendapatkan kesejahteraan yang tak kunjung didapatkan.
Sungguh, mereka tidak memiliki idealisme yang diperjuangkan oleh karena mustahil Islam diperjuangkan melalui sistem demokrasi. Walaupun banyak partai yang mengaku memperjuangkan Islam, tapi faktanya tujuan dari mereka untuk kekuasaan. Mereka menggunakan label Islam hanya ingin mengambil hati umat Islam agar mau memilihnya bukan untuk memperjuangkan Islam. Bahkan, mereka rela berkoalisi dengan partai bukan Islam hanya untuk bisa mendapatkan kekuasaan.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi? Kehidupan islami tidak mungkin terwujud dalam sistem demokrasi. Sistem Islam tidak akan tegak jika kita pertahankan demokrasi. Demokrasi harus dicampakkan. Kesadaran umat untuk memperjuangkan sistem Islam harus ditingkatkan.
Islam tidak mengartikan politik sebagai orientasi kekuasaan, karena Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah.
Adanya ketakutan dan kewaspadaan terhadap politik identitas islam oleh sebagian umat islam sendiri, sebenarnya berawal dari kurang menyeluruhnya pemahaman mengenai konsep politik islam yang sebenarnya dan juga dipengaruhi oleh penerapan politik praktis oleh sebagian pemuka islam yang sama sekali tidak menggambarkan politik islam. Selain itu, terlihat adanya sebuah ketakutan akan bangkit kesadaran politik kaum muslimin, sebagaimana yang telah diprediksikan oleh banyak tokoh dan lembaga internasional, bahwa kekuatan islam akan bangkit dengan bangkitnya kekhilafahan. Sehingga ada upaya massif untuk menjauhkan umat dari aktivitas politik hakiki. Mulai dari monsterisasi islam dan ajarannya, kriminalisasi pengembannya dan lain sebagainya. Karena bangkitnya khilafah adalah awal kehancuran hegemoni kekuatan asing yang menjarah harta umat selama ini. Juga awal kehancuran boneka – boneka asing di negeri – negeri kaum muslimin. Oleh karena itu, kaum muslimin harus menyadari, bahwa politik islam tidak hanya bagaimana cara agar sampai pada kursi kekuasaan, tapi bagaimana urusan umat bisa tertunaikan.
Islam memang tidak bisa dilepaskan dari politik. Karena dalam islam, politik adalah bagian dari konsep ideologinya. Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah, yaitu tata cara mengatur segenap urusan umat. Oleh karena itulah islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat.
Allah swt berfirman :
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan apakah pada hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan hokum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang menyakini agamanya" (TQS Al-Maidah[5]: 49-50.
Sungguh rakyat membutuhkan penguasa yang benar-benar meriayah rakyat, berkuasa untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejarah mencatat bahwa 1.300 tahun Islam berjaya, dengan sistem pemerintahan Islam. Rakyat tentram, segala kebutuhannya terpenuhi, sehingga rakyat bisa fokus untuk menjalankan ketaatan kepada Allah ta’ala. Tidak memikirkan biaya hidup yang mahal, karena kesehatan, pendidikan dan lain-lain di perhatikan oleh Negara yang mengelola sumber daya alam sendiri, untuk kesejahteraan rakyat sendiri. Dan sistem yang mensejahterakan itu hanya terlahir dari sistem Islam yang bernama Khilafah. Yang kehadiran pasti sebab ia janji Allah SWT.
Wallhu a’lam bi ash showab.