Oleh. R. Alnadra
(Founder Penulis Ideologis)
Orangtua mana yang tak meringis mendapat kabar tak mengenakan. Theresia, ibu dari korban dugaan pelecehan seksual oleh guru Jakarta Intercultural School (JIS)--Neil Bantlaman--tahun 2015 silam. Kini sudah menghirup udara bebas di negaranya (Kanada) sejak akhir Juni lalu.
Kabar grasi NB (Neil Bantleman), pria kebangsaan Inggris-Kanada ini beredar luas di media. Setelah Presiden Joko Widodo pada 19 Juni lalu mengabulkan permohonan grasinya. cnnindonesia.com (12/07/2019)
Theresia mempertanyakan pemberian grasi ini. Ia bahkan meyakini dirinya tidak pernah dikirimi surat oleh Pengadilan tentang grasi NB. Mengingat NB tidak pernah mengaku bersalah atas perbuatannya. Selain itu, ia juga mempertanyakan tentang masa tahanan yang dijalani NB, terlalu singkat.
NB mungkin hanya segelintir laki-laki -- dan kebetulan warga Asing -- yang dilaporkan oleh Theresia. NB tidak sendiri saat melakukan perbuatan bejatnya. Asistennya Ferdinant Tjiong, serta lima pesuruh JIS lainnya, saat ini masih menginap di hotel prodeo atas dugaan yang sama. Dengan ancaman hukuman 11 tahun penjara.
Indonesia Darurat Pedofilia
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan Indonesia ada dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Sepanjang 2017, menurut data KPAI, ada 1.234 anak laki-laki menjadi pelaku dan korban kekerasan pornografi.
Situs KPAI menyebutkan, modus pelaku semakin beragam. Kemajuan tekhnologi dan kurangnya pengetahuan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak serta lingkungan pergaulan menjadi penyebab utama pedofilia.
Terbukti kasus peredaran konten pornografi anak melalui internet ini terungkap polisi pada 2017 lalu. Sebuah grup pedofilia terjaring di jejaring sosial Facebok yang dibuat sejak 9 Maret 2016 dan sudah memiliki 7000 lebih keanggotaan. Didalamnya terdapat ratusan foto dan video kejahatan seksual yang diposting oleh angota grup tersebut bahkan terhubung dengan jaringan pedofilia internasional.
Payung Hukum Rapuh
Kebijakan Presiden beri grasi terpidana sodomi menjadi sorotan publik. Komitmen Jokowi lindungi anak pun dipertanyakan.
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden Jokowi pada Mei 2016 lalu. Ia menyatakan bahwa, "kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa, dan penanganan, sikap, dan tindakan seluruh elemen, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat, harus dilakukan secara khusus". voaindonesia.com (10/05/2016)
Sedangkan pemberian grasi, hal itu mengindikasikan pelaku mengakui perbuatannya. Namun nyatanya kontras dengan pernyataan pelaku yang beredar luas di media.
Situasi ini membuat publik meragukan konsistensi Kepemimpinan Jokowi. Negara seharusnya wajib melindungi warganya. Tapi bukannya menidak tegas pelaku, malah memberikan grasi kepada pelaku sodomi dan membebaskannya.
Disisi lain, menurut pandangan Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris. Akan menjadi preseden tidak baik karena dikhawatirkan langkah ini (pengajuan grasi) bakal diikuti oleh terpidana-terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak lainnya di Indonesia.
Kasus pedofilia makin marak karena tidak ada hukum yang tegas kepada pelaku. Walaupun telah ada upaya yang tertuang melalui payung hukum UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak. Di dalamnya diatur penanganan hukum terhadap para predator anak-anak, termasuk pemberatan sanksi.
Faktanya pedofilia, merupakan penyakit menular yang membahayakan moral dan kualitas generasi masa depan. Bahkan ahli psikologi forensik Reza Indragiri mengungkap hasil penelitian yang menyatakan predator anak kerap mengulangi perbuatan.
Dari hasil studi berbasis data sejak 1958 hingga 1974, misalnya, diketahui bahwa 42% predator melakukan residivisme. Pengulangan perbuatan jahat itu mencakup kejahatan seksual, kejahatan dengan kekerasan, dan kombinasi keduanya," detiknews.com (13/07/2019)
Jika dibiarkan, seolah-olah negara menganggap kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan biasa. Apalagi pelaku pedofilia diberi grasi oleh Presiden, ini membuktikan negara tak serius menyelamatkan generasi.
Kembali Pada Islam
Masalah pedofilia hanya akan tuntas jika diterapkan sistem Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Sebab islam tidak hanya mengatur ibadah ritual semata. Tetapi memiliki seperangkat aturan untuk menjaga moral masyakarat dari perbuatan maksiat.
Sanksi dan hukuman diberlakukan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa, maka hukuman tersebut haruslah bersumber dari Allah swt dan RasulNya.
Syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya. Siapa saja yang melakukan perbuatan sodomi (liwath), maka hukuman yang harus diberikan adalah hukuman mati, bukan yang lain seperti upaya kebiri dll.
Pemberian grasi kepada pelaku pedofilia bukti negara lemah menghadapi pelaku kriminal terutama warga asing. Dalam hal ini penguasa harus memiliki ketegasan dan tidak terpengaruh oleh tekanan negara lain.
Karenanya hanya islam ideologi yang memikili visi untuk menyelamatkan generasi dengan menerapkan hukum mulai dari pencegahan dini hingga payung hukum yang memberikan efek jera yang tegas bagi pelaku.
Selain itu ketaqwaan pemimpinnya akan menghadirkan rasa takut akan pertanggung jawaban di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam HR. Bukhori. Bahwa,
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinanya. Seorang wanita adalah penanggung jawab dalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang pelayan adalah penanggung jawab dalam harta majikannya dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya".