Oleh : Dara Millati Hanifah, S.Pd*
.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di negeri ini banyak mengundang keprihatinan semua pihak. Tepat tahun 2015 silam, siswa Jakarta International School kini menjadi Jakarta Intercultural School (JIS) mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh gurunya sendiri.
.
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sangat menyesalkan sikap presiden Jokowi yang memberikan grasi kepada warga Kanada, Neil Banthelem. Terpidana kasus pelecehan seksual siswa di JIS.
.
Anggota KPAI Putu Elvina mengatakan bahwa pemberian grasi menjadi lembaran hitam pemerintah dalam upaya melindungi anak Indonesia dari kekerasan seksual. Ia menyebutkan pelecehan seksual siswa JIS itu menjadi komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak. (cnnindonesia.com 13/7/2019)
.
Dengan adanya grasi ini, keluarga korban merasa kecewa atas keputusan presiden Jokowi. Karena apa yang dilakukan pelaku tak bisa dimaafkan. "Mereka sangat kecewa. Tidak menyangka seorang pedofil seperti dia bisa dapat pengampunan. Saya kira seluruh dunia setuju jika kejahatan yang paling memuakkan adalah pedofilia. Saya berani mengatakan itu karena sudah menjadi kekuatan hukum tetap. Itu sadis". Ujar Tommy Sitohang Kuasa Hukum keluarga korban. (HarianJogja.com 20/07/2019)
.
Pemberian grasi kepada pelaku pedofil membuktikan bahwa pemerintah lemah dalam menangani pelaku kriminal terutama pada warga asing. Ditambah tidak ada hukum yang tegas pada kasus ini. Padahal pedofil merupakan penyakit menular yang membahayakan moral dan kualitas generasi masa depan.
.
Terjadinya kekerasan seksual anak dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sangat rusak. Hal ini diakibatkan melemahnya nilai moralitas dan nilai agama dalam diri individu. Tentu faktor ini tidak muncul dengan sendirinya. Sistem pendidikan saat ini yang berkiblat pada sekulerisme di mana minimnya pengajaran agama memicu terjadinya kekerasan seksual. Mengingat pelakunya guru bahkan ayah kandungnya sendiri. Adanya konten pornografi yang menyebar luas. Serta pergaulan bebas yang menjadi pemicu adanya perzinahan. Padahal Allah telah melarang perbuatan zina. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al - Isra ayat 32 :
"Janganlah Kalian mendekati zina. Sungguh zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk" (TQS Al - Isra : 32).
.
Masalah pedofilia tidak akan pernah selesai jika tidak menerapkan hukum Islam pada aspek kehidupannya. Islam telah menetapkan hukuman bagi pelaku sodomi/pedofilia. Adapun hukuman untuk pelaku pedofilia sebagai berikut; (1) jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain ; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta'zir.
.
Meski hukuman ta'zir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, tetapi disyaratkan hukuman ta'zir itu telah disahkan oleh nash-nash syariah, baik Al Qur`an maupun As Sunnah. Demikian pula, menjatuhkan ta'zir berupa pengebirian diharamkan, karena telah terdapat hadits-hadits sahih yang melarang pengebirian.
.
Tak hanya itu, peran Negara dalam memblokir konten pornografi serta melarang perzinahan tentu, kejahatan seksual pada anak tidak akan terjadi. Saksi yang diberikan kepada pelaku memiliki efek jera dan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang serupa.
.
Hal tersebut akan bisa dilaksanakan jika negara menggunakan sistem Islam. Di mana, negara sangat bertanggung jawab melindungi rakyatnya dari kekerasan dan kejahatan kriminal lainnya. Termasuk, kekerasan seksual pada anak.
Wallahu 'alam bi shawab.
*(Pemerhati Pendidikan)